"I want to be with those who know secret things. Or else, alone."
- Rainer Maria Rilke
*****
Perasaan gelisah datang tanpa kenal kata permisi. Dengan sesuka hati ia menyerangku. Padahal, sekarang bukan waktu yang cocok untuk cemas. Atau lebih tepat, sudah terlambat untuk mundur secara teratur. Aku terlanjur berdiri di tempat ini, Bandara Adi Sucipto. Tempat di mana terakhir waktu aku bertemu sekaligus berpisah dengan Rachel. Sampai tidak kusangka akan benar-benar berpisah dan tidak lagi saling menghubungi.
Usai semua tindakan tidak beraturan yang kulakukan. Juga terkesan selalu berbuat sekena hati. Tentunya efek dari kelakuan tidak masuk akal yang kulakukan. Mengharuskanku untuk mengakui kesalahanku dan memohon maaf kepada semua orang yang telah kuhadiahi dengan makian serta tinju yang kulayangkan. Jelas sekali image-ku tidak akan sepenuhnya kembali baik. Tetapi dengan aku melakukan ini, paling tidak mereka mengetahui bahwa aku menyadari perbuatanku yang tidak benar.
Mengenai itu, kembali ke tempat aku berdiri sekarang. Mengetuk-ketukkan kaki dengan tempo yang lambat-laun semakin cepat. Menunggu keberangkatan pesawat yang dalam hitungan tak kurang dari satu jam akan segera take off. Betapa gilanya lagi. Bagaimana bisa aku masih menimbang harus melanjutkan penerbangan atau justru membatalkan keberangkatan?
Karena memang apa untungnya bagiku dengan pergi ke London? Keberangkatanku ini tak lepas dari faktor Ayah yang menyuruhku pergi dan menemui Rachel. Selain itu... apa lagi? Mengingat kami yang memang sudah tidak lagi menjalin hubungan. Lantas hal apa lagi yang perlu kami selesaikan ketika pada kenyataannya kami juga sudah selesai?
Oh demi Tuhan! Kenapa aku harus bersusah-susah merajuk? Aku yang terlampau pengecut. Jika aku sekarang menghindar, maka selamanya aku tidak akan mendapat jawaban yang pasti dari Rachel. Sebab sampai sekarang, ia tetap mengacuhkan panggilan dan pesanku. Apa yang ia sembunyikan selama ini? Apa yang menjadikannya berubah? Sampai-sampai memutuskan lenyap dari kehidupanku.
Membenamkan kepala pada kedua tangan, berpikir dua-tiga langkah kedepan. Astaga! Sudahlah. Persetan dengan pikiranku. Setengah mendesah berat. "Semoga ini pilihan terbaikku."
***
Suhu kota London jatuh pada angka 11 derajat celcius. Angka yang cukup menyiksaku yang tidak terbiasa dengan kondisi tersebut. Musim semi di pertengahan bulan April ini menyambut kedatanganku di London dengan angin yang cukup dingin.
Setelah mengambil koper, dengan langkah tergesa-gesa keluar bandara. Tidak menyangka aku akan terantuk kaki pria bule gempal dan mengharuskanku meminta maaf. Jujur, menyesuaikan diri di negara orang bukan hal gampang. Terkadang kita harus memahami juga taat dengan tata aturan yang berlaku. Serta membiasakan diri dengan budaya yang kerap dilakukan masyarakat. Dari apa yang ku pelajari jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Tutur kata sekaligus moral orang London terkenal ramah dan sopan. Kupikir aku harus mulai berhati-hati dari sekarang kalau tidak ingin di tendang balik ke Indonesia.
Berbekal jasa taksi yang tersedia di London City Airport, aku mengarahkan diri pergi ke Wimbledon. Biarpun suatu pemborosan tapi aku tidak punya pilihan lain. Menenteng koper kesana-kemari bukanlah opsi yang menyenangkan jika berpergian menggunakan bus ataupun kereta bawah tanah. Terlebih di negara orang.
Sebagai kota utama negara, jalanan London tidak sepadat layaknya Jakarta yang sama-sama kota metropolitan. Selama perjalanan menuju Wimbledon, akhirnya aku tahu dengan mataku sendiri bus bertingkat berwarna merah yang orang katakan sebagai ikon ternama London. Serta tidak sedikit mobil pribadi yang berlalu-lalang di setiap sudut kota. Arsitektur bangunan kota London beraneka ragam dan selalu berhasil membuatku berdecak kagum.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heaven Voice [ COMPLETED ]
Teen Fiction"Dear Kevin Percayakah kamu dengan yang namanya keajaiban? Aku percaya. Melalui surat yang sedang kau pegang ini, aku ingin menyampaikan isi hatiku yang belum tersampaikan padamu."