01

2.9K 381 50
                                    

HIRAETH


Rintik hujan terdengar nyaring di kamar yang temaram, seakan ribuan tetes air itu jatuh tepat di atas kepala. Pria yang menutup kedua matanya dengan kernyitan di dahi nampak tidak nyaman dalam tidurnya, sesekali tangannya menarik sehelai kain tipis yang menutupi tubuhnya yang tertidur beralasan karpet.

Pada akhirnya ia menyerah, memilih membuka kedua manik rubahnya kemudian mengerjap pelan. Tubuhnya bangkit, sedikit meringis kala rasa sakit dan pegal seakan menjalar di setiap sudut tubuhnya yang lelah. Ia mendekat pada ransel di ujung ruangan, mengobrak-abrik isinya selama beberapa saat sebelum menemukan apa yang sedari tadi ia cari.

Wonwoo—pria itu, dengan cepat mengenakan jaket pemberian Seulgi satu tahun yang lalu. Ia lantas mengambil jam tangan pemberian sang paman, mengecek jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah 5 pagi. Niatnya untuk kembali tidur urung, ia lebih memilih beranjak menuju pintu lantai yang berada di ujung ruangan.

Wonwoo membuka pintu itu kemudian menurunkan tangga yang menggantung, tangga yang membuatnya dapat keluar masuk dari kamar baru nya itu. Kaki tanpa alas nya pun melangkah ke ujung ruangan setelah ia berhasil menapak pada lantai dingin kediaman ayah nya. Disana terdapat sebuah pintu kayu bercat putih, sebuah kamar mandi yang di peruntukan bagi para pekerja disana seperti maid maupun satpam rumah. Tentu saja Wonwoo tahu, ia sempat tinggal di rumah besar ini selama 4 tahun masa hidupnya dan ia masih mengingatnya. Bahkan Wonwoo ingat bahwa kamarnya yang sekarang ini merupakan tempat penyimpanan barang bekas dahulu, dengan kata lain adalah gudang.

Setelah bersiap selama beberapa saat, Wonwoo bergegas menyandang tas nya dan keluar melalui pintu belakang. Pintu yang biasanya di gunakan para pekerja untuk keluar masuk kediaman keluarga Jeon. Pria bermanik rubah itu tidak sarapan, ia hanya sempat menegak segelas air putih tadi. Entah apa yang akan Wonwoo dapatkan dari sang ibu tiri jika ia dengan lancang mengambil sarapan, bahkan untuk mengambil selembar roti pun Wonwoo tidak berminat.

Sebelum keluar dari pekarangan rumah mewah itu Wonwoo menyempatkan diri untuk menuju pos jaga Tuan Choi untuk mengambil skateboard yang sempat ia titipkan kemarin malam. Dapat ia lihat pria paruh baya itu telah terjaga dengan segelas cairan berwarna hitam di hadapannya, mata yang dipenuhi gurat tanda usianya tak muda lagi menatap layar tv yang menampilkan pertandingan bola.

"Paman Choi, aku ingin mengambil papan aneh itu." Ucap Wonwoo dengan kekehan di akhir kata, teringat kembali saat semalam Tuan Choi berkata bahwa skateboard nya itu adalah papan aneh.

Tuan Choi nampak terperanjat, "Ya Tuhan, kau mengagetkan ku." Geramnya sebelum beranjak untuk mengambil skateboard Wonwoo yang ia letakkan di ujung ruangan.

"Kau akan pergi ke sekolah, tuan muda? Jam berapa ini?" Tanya Tuan Choi ketika menyadari Wonwoo yang mengenakan pakaian yang seperti seragam sekolah dibalut dengan jaket berwarna putih gading.

Wonwoo tersenyum sembari mengambil alih skateboard nya, "Aku akan berjalan-jalan sebentar sebelum pergi sekolah, sudah lama sekali sejak aku pergi dari Seoul. Oh ya, panggil aku Wonu saja paman Choi, aku kan sudah bilang semalam." Rajuknya dengan bibir mengerucut.

"Baiklah, apa kau sudah sarapan Wonu-ya?" Tanya Tuan Choi karena seingatnya para maid yang bekerja di dapur akan memasak sarapan pada pukul setengah 6 pagi.

"Aku tidak biasa sarapan." Bohong Wonwoo, padahal dulu ketika ia tinggal bersama sang bibi, Wonwoo bisa menghabiskan dua piring nasi goreng kimchi buatan Seulgi untuk sarapannya.

Tuan Choi menggeleng pelan, ia lantas beranjak menuju tempatnya duduk tadi kemudian mengambil dua bungkus roti nya, "Makanlah, tidak baik jika perutmu kosong di pagi hari."

HIRAETH ; MEANIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang