08

2.5K 377 76
                                    

HIRAETH


Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika Wonwoo keluar dari sebuah kedai bersama seorang pria tampan. Mereka menghabiskan banyak waktu hanya untuk makan semangkuk ramen yang sukses membuat perut Wonwoo terasa hampir meledak sebab porsinya yang begitu besar.

Kini dua pria itu berjalan beriringan melewati jalanan yang cukup sepi. Wonwoo sesekali mendongak hanya untuk melihat taburan bintang yang menghiasi langit malam itu. Pikirannya berkelana saat ini, ia tengah memikirkan dimana ia harus tidur untuk malam ini. Di malam sebelumnya ia menginap di rumah pak Choi yang terletak di perumahan sederhana yang ditempati para pekerja dari keluarga Jeon. Tapi sepertinya malam ini Wonwoo tak bisa lagi menumpang tidur disana sebab istri dari pak Choi dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia takut jika sang suami akan terkena amukan tuan Jeon karena telah menampung Wonwoo malam itu.

Wonwoo rasa dirinya sudah tidak memiliki tempat untuk pulang. Sekarang ia bahkan tak tahu harus pulang kemana. Ia ingin kembali ke rumah besar itu dan melihat sang ibu dan ayahnya yang sudah menunggunya di meja makan dengan senyum hangat. Tapi itu semua hanyalah sebuah angan yang mustahil akan terjadi. Masa nya sudah usai, jatah kebahagiaan nya telah habis, ia hanya diberi waktu untuk bahagia bersama ayah dan ibunya selama tiga tahun.

Kini tak ada lagi harapan baginya untuk merasakan hangatnya pelukan keluarga. Orang yang menyayanginya dengan tulus hanyalah sang bibi dan paman yang saat ini tengah berjuang untuk hidup di negeri orang. Pertama dan terakhir kali ia mendapat surat dari bibi nya ketika satu minggu setelah keberangkatan kembaran sang ibu itu. Bibi nya mengabari bahwa ia dan suami dalam keadaan sehat dan saat itu tengah berusaha untuk memulihkan kondisi perekonomian mereka. Bibi nya itu berjanji akan segera menjemput Wonwoo jika kondisi mereka sudah lebih baik. Dan Wonwoo sangat berharap kondisi perekonomian bibi nya segera pulih agar ia dapat merasakan lagi kehangatan yang diberikan sang bibi dan pamannya.

Jika disuruh memilih antara hidup bersama sang bibi atau ayah, maka Wonwoo akan dengan tegas memilih bibi nya. Lebih baik hidup dalam segala kesederhanaan, tapi dengan kehangatan keluarga yang berlimpah. Daripada harus hidup dengan segala kemewahan, tapi batinnya terluka.

Wonwoo menghela napas ketika merasa kepalanya berdenyut sakit karena memikirkan begitu banyak hal.

"Apa yang kau pikirkan?" Suara berat itu terasa menggelitik gendang telinga Wonwoo.

Pria Jeon itu kembali menghela napasnya. Kaki jenjangnya berhenti melangkah, sementara wajahnya menengadah untuk menatap bintang-bintang yang mulai menghilang dibalik awan berwarna kelam, "Kau tahu tempat penginapan yang murah?"

Jaehyun—pria yang sudah mengajak Wonwoo untuk makan malam bersama itu tersenyum sebelum tangannya terangkat untuk merangkul Wonwoo.

"Bertengkar dengan orang tua mu?" Ia menatap Wonwoo sejenak dan tertawa setelahnya sebab mendapati kedua manik rubah Wonwoo yang mendelik ke arahnya.

"Kenapa wajahmu seperti itu? Aku juga sering bertengkar dengan kakek ku hanya karena masalah sepele. Bahkan minggu lalu kami bertengkar hanya karena sebuah kacang di dalam bubur abalone,"

Untuk kesekian kalinya Wonwoo menghela napas. Ia berusaha menekan rasa kesalnya pada Jaehyun yang menyamakan masalahnya dengan masalah yang sepele. Bagaimanapun Jaehyun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Jadi sudah sepantasnya ia tidak merasa marah bahkan kesal pada pria itu.

Kaki Wonwoo sedikit kesulitan dalam menyamakan langkah Jaehyun. Bahunya pun terasa berat sebab pria Jung itu merangkulnya dengan paksa hingga rasanya ia seperti tercekik.

HIRAETH ; MEANIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang