02

2.3K 337 17
                                    

HIRAETH

Terhitung sudah seminggu Wonwoo kembali ke Seoul. Semua berjalan sebagaimana mestinya di sekolah barunya. Ia cukup dapat beradaptasi sebab Seungkwan selalu bersamanya dan pria manis bermarga Boo itu dengan senang hati memperkenalkan Wonwoo pada teman-temannya yang lain.

Ya, semua baik-baik saja ketika Wonwoo berada di sekolah, hanya ada beberapa siswa yang mengatakan bahwa dirinya berandal tapi itu tidak begitu berarti bagi Wonwoo. Tapi berbeda ketika dia berada di rumah, semua tidak berjalan dengan baik. Setiap sepulang sekolah Wonwoo selalu di perintah melakukan ini dan itu. Dia terkadang menolak sebab sangat lelah atau harus segera mengerjakan tugasnya, tapi yang Wonwoo dapatkan adalah pukulan dan cacian dari sang ibu tiri.

Selama seminggu ini juga tuan Jeon belum jua kembali dari perjalanan bisnisnya. Hal itu membuat ibu tiri nya dengan leluasa memerintah bahkan menyiksa Wonwoo yang sungguh, Wonwoo sebenarnya ingin membalas semua itu tapi perkataan mendiang ibu nya selalu terngiang. Meski tidak yakin jika nanti keberadaan sang ayah akan memperbaiki keadaan, Wonwoo tetap berharap ayah nya cepat kembali. Setidaknya jika sang ayah ada di rumah, ia bisa menolak jika di perintah untuk melakukan ini dan itu, sebenarnya Wonwoo tidak yakin tapi itulah harapan nya.

Tapi ketika pagi tadi tuan Choi memberitahunya bahwa tuan Jeon akan kembali siang nanti, Wonwoo tidak mengerti kenapa dia begitu takut dan khawatir. Ia yang awalnya berpikir bahwa ayah nya bisa di andalkan, seketika berubah pikiran kala mengingat bagaimana pria yang telah membuatnya hadir di dunia ini mengundangnya kembali ke Seoul.

Akibat dari rasa takutnya itu, Wonwoo tidak langsung pulang ke rumah kala bel tanda pulang berbunyi. Pria manis itu tetap diam di kursinya kala teman sekelasnya berebut untuk keluar lebih dulu. Seungkwan yang duduk di depannya merasa tidak aneh, pria berpipi tembam itu hanya berpikir bahwa Wonwoo tidak suka berdesakan hanya untuk keluar dari kelas dengan cepat. Tapi ketika kelas sudah sepi dan hanya menyisakan tiga orang di dalamnya, Seungkwan mengernyit sebab Wonwoo tidak juga membereskan buku-bukunya.

"Kau tidak pulang, Hyung?" Tanya Seungkwan sembari membenarkan letak tas punggungnya.

Wonwoo mendongak sebentar sebelum tangannya mulai sibuk merapikan buku-bukunya yang tadi masih berserakan di atas meja, "Aku akan pulang setelah menyelesaikan beberapa hal, kau duluan saja."

Seungkwan mengangguk, "Baiklah, aku pulang duluan Hyung. Aku harus membantu ibu di toko, jadi maaf tidak bisa menemani mu."

Wonwoo lantas mengangguk dengan senyum tipis, ia juga bergumam tidak apa agar Seungkwan tidak perlu meminta maaf seperti itu. Setelahnya Seungkwan pergi dengan cukup tergesa meninggalkan Wonwoo berdua dengan sang ketua kelas, Kim Mingyu.

Sebenarnya Wonwoo cukup heran pada pemuda Kim itu, sebab sejak bel tanda pulang berbunyi Mingyu tidak jua bergerak sedikitpun dari posisi duduknya. Kebetulan pelajaran terakhir tadi sang guru tidak masuk kelas, hanya memberi tugas saja jadi ketua kelas tidak perlu repot memimpin anak lainnya untuk mengucapkan terimakasih untuk hari ini pada sang guru.

"Huh, dia bukan patung kan?" Gumam Wonwoo sesaat setelah selesai dengan buku-bukunya. Tidak salah sebenarnya Wonwoo berkata seperti itu, sebab sejak tadi Mingyu memang seperti patung yang duduk tegap dengan pena yang terselip di antara jarinya, bahkan pena itu pun tidak di gerakkan sama sekali.

Memilih untuk tidak peduli, Wonwoo beranjak dari tempatnya duduk kemudian berjalan dengan santai untuk keluar dari kelasnya itu.

HIRAETH ; MEANIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang