Aku membuka mata pagi ini dan kembali bertanya. Pada matahari, mengapa kau masih datang di pagiku seperti kau datang di pagi-pagi semua orang? Lalu pada diriku yang dulu begitu menginginkan kak Fina di sampingku setiap detik, mengapa kau bisa se-naif itu? Dan pada diriku yang sekarang ingin terus memaki-maki Kak Fina, mengapa kau masih ingin menangisinya?
Semua pertanyaan itu selalu kubisikan pada dinding-dinding kamarku yang sepi dan dingin. Tanpa pernah ada yang mendengar dan menjawabnya. Seakan seisi dunia sudah bermusyawarah tadi malam untuk memojokkanku. Bahkan dengan debu-debu itu sekalipun, yang seakan berterbangan membuat bayangan depan mataku tentang kejadian-kejadian menyakitkan itu. Tentang masa kecilku. Tentang kehidupanku di rumah megah ini. tentang impianku ingin menemukan keluarga kandungku-yang barang tentu tak pernah akan terjadi. Bagaimana? Sudah cukup menyedihkankah diriku? Untuk mereka tertawakan? Puaskah semua jika ku tampakkan kerapuhanku?
Kak, kau dimana? Aku membencimu, aku sangat membencimu. Aku terlalu membencimu tapi hati kecilku terus memukuliku tiap aku mengatakannya. Hingga aku menangis sendirian seperti anak kecil yang tersesat di taman bermain. Kau dimana? Aku tidak mau tahu, namun aku terus menanyakannya. Apa yang harus dilakukan bocah kecil ini? Ia bodoh, naïf, dan tak punya apa-apa.
"Elang..ayo bangun."
Aku membuka mataku. Meski sedari tadi aku sudah bangun. Tapi kuperintahkan mataku untuk tetap tertutup karena belum siap menyambut hari ini. Hari yang berbeda. Hari yang tidak biasa. Hari yang tanpanya. Hari yang sepi. Hari yang kosong. Hari yang dingin meski terik matahari sudah terasa di kulitku. Ia datang menyelinap dari jendela yang terbuka.
"Ibu sudah siapkan sarapan, Ibu tunggu dibawah ya."
Aku mengangguk dengan pelan. Ibuku berbalik dan berjalan menjauh kemudian hilang dari kamarku. Jika tidak karena Ibu membangunkanku dengan lembut dan berkata akan menunggu dibawah, aku tak akan beranjak dari kasurku. Tetapi karena aku tak tega jika membiarkannya sendiri dibawah menungguku, akhirnya aku bangkit dari bantal-bantal hangat itu.
Setelah siap dengan seragam dan tas sekolahku, aku menghampiri Ibu di meja makan. Kulihat semangkuk bubur gandum sudah siap dengan sendok bersih di sebelah kanannya. Itu pasti untukku. Tanpa bertanya, aku langsung duduk dan melahapnya. Bukan karena lapar atau menyukainya. Tetapi dengan melahap seperti orang yang belum makan tiga hari, aku dapat menahan gejolak didalam hati agar tak membuat mataku berair (lagi). Juga dengan mengeluarkan tenaga lewat mengunyah cepat, aku dapat melampiaskan semua kekesalan dan kekecewaanku.
"Aku mau nasi," pintaku pada Ibu
"Dengan telur," tambahku.
Entah mengapa. Kenapa aku harus bilang 'dengan telur'? Tidak, aku tidak mengaturnya. Itu keluar begitu saja dari lidahku. Bisa-bisanya jadi seperti ini. Bahkan setiap sel dalam tubuhku merindukannya. Merindukanmu Kak.
***
YOU ARE READING
Kisah Elang dan Kak Fina
Teen FictionElang tahu bahwa ayah dan ibunya yang selama ini tinggal dengannya bukanlah orangtua kandungnya. Meski mereka selalu menutupi kebenarannya, Elang tak pernah bersedih akan hal itu. Elang berpikir ia sudah tak memiliki lagi keluarga kandung. Sampai ti...