Bab 2 Part 8

20 6 0
                                    

Tress melambaikan tangannya dengan cepat dari dalam kelas karena aku sudah terlambat mengikuti Ujian Praktek Biologi. Kelompok kami ditugaskan membuat youghurt dan hari ini semua kelompok harus mempresentasikannya.

"Sorry telat."

"Iya iya gak apa, nih, pokoknya nanti kamu bacain yang ini ya," jelas Tress sambil menunjukkan makalah yang sudah ia buat entah kapan. Aku mengangguk dengan cepat dan mulai memperhatikan kelompok lain yang sedang mempresentasikan cara membuat tempe.

Untuk tampil didepan sebenarnya aku tidak pernah demam panggung. Tapi sebelum kelompokku maju untuk presentasi beberapa orang polisi datang ke kelasku. Dengan seragamnya yang berwarna coklat khas dan sepatu besarnya yang membuat langkah kakinya begitu terdengar, membuatku demam panggung sebelum maju presentasi. Aku bertanya-tanya, ada apa ini ya? Apa polisi mau meriksa anak-anak yang sudah mengendarai motor tapi belum memiliki SIM? Kalau begitu, aku tidak usah takut, aku kan tidak punya motor? Atau polisi itu mau menawarkan Kalender beredukasi tentang peraturan lalu lintas. Atau tidak sesederhana itu, apa mereka sedang mencari napi yang menyamar jadi siswa disini? Dikelasku? Jangan-jangan itu Fery? Fery kan sangat menjengkelkan, sifatnya yang seperti itu membuatnya sangat cocok menjadi napi.

Berpikir tentang Fery, aku jadi meliriknya sebentar. Ia langsung memalingkan wajahnya ketika sadar aku melihatnya. Ada apa dengannya? Aku jadi punya firasat buruk.

"Ya, silahkan tetap tertib dan diam ditempat kalian masing-masing."

Aku baru saja ingin memeriksa isi tasku. Namun salah satu polisi itu sudah mendapatkan tasku lebih dulu. Aku ikut melihat isinya. Aku masih penasaran dengan firasatku. Tak kusangka, lagi-lagi aku tidak menduganya, firasatku benar. Ada sebungkus kecil sabu-sabu dalam tasku. Pak polisi itu menatapku sebentar dan menutup kembali tasku. Aku diangkatnya berdiri tanpa paksaan. Ia memberi isyarat pada teman-temannya bahwa ia sudah menemukannya. Tangan kirinya memegang tasku dan tangan kanannya memegang lenganku.

"Sebentar Pak."

Aku meminta ijin padanya untuk memberikan gambar Tress. Aku tersenyum padanya, sayang sekali ia tak bisa tersenyum padaku.

Mengapa hari seperti ini harus terjadi lagi? Ini pasti Fery lagi. Sungguh aku ingin langsung menendang wajah Fery yang santai itu. Tapi kutahan jika tak mau menambah masalah. Berkat Kak Fina, aku jadi bisa menahan emosiku. Sebenarnya aku ingin langsung mengatakan pada pak polisi itu bahwa bukan aku yang menyimpan benda haram itu, tapi aku belum punya bukti apa-apa. Aku juga tak tahu kapan tepatnya Fery menghampiri tasku.

Juna dan Tress menatapku bingung, aku tak berkata apa-apa karena tak ingin mereka membuat keributan hanya karena ingin membelaku.

Tidak seperti guru yang menemukan soal curian, pak polisi sama sekali tidak berteriak ditengah kelas. Mereka hanya membawaku ke ruang BK untuk meminta Pak Bima menemaniku ke kantor polisi.

"Alah, kunaon deui atuh Lang. Hayu lah urang baturan kaditu meh teu stress." (Aduh, kenapa lagi Elang. Ayolah saya temani kesana biar ga stress)

Di kantor polisi, setelah aku ditanyai berpuluh-puluh pertanyaan dan di tes urine. Karena semua itu membutuhkan waktu lama, Pak Bima pulang lebih dulu dan percaya padaku bahwa aku bisa mengatasinya sendiri.

"Bapak pulang nya? Ngke mun aya nanaon telpon we ka Bapa." (Bapa duluan ya? Nanti kalau ada apa-apa telpon aja ke Bapak"

Aku mengangguk dan menjawab,

"Nya Pak, kalem we, ngke ge Ayah kadieu da." (Iya Pak, tenang aja, nanti juga Ayah Kesini)

Setelah Pak Bima pergi, tak lama hasil urineku keluar. Hasilnya membuktikan bahwa aku bukan pemakai. Setelahnya salah satu polisi meminta kontak waliku. Aku sangat bingung. Aku sudah tak tinggal dengan Ayah dan Ibu, tidak mungkin aku memberikan nomor mereka. Tapi aku tak tega jika membuat Kak Fina mendengar kabar mengejutkan ini. apalagi ia sedang sangat sibuk di kantornya siang bolong begini. Tapi pak polisi itu terus memaksaku. Akhirnya aku memberikan nomor Kak Fina saja.

Awalnya aku takut Kak Fina marah, tapi tidak. Ia pasti mengerti dan mempercayaiku. Seperti insiden mencuri soal semester lalu.

***

Kisah Elang dan Kak FinaWhere stories live. Discover now