Aku ingat kejadian di Rumah Sakit saat melihat seseorang mirip Juna. Aku harus memastikannya. Jika benar, aku harus tahu alasannya. Apakah ia sakit?
"Eh Jun anter gue yuk."
"Haduh, sory nih gue harus pergi."
"Kemana? Yaudah gue ikut deh."
"Ga bisa, ini urusan gue ama panti."
"Oh, yaudah deh gue sendiri aja ke rumah sakit."
Juna langsung membalikan badannya setelah selangkah berjalan di depanku.
"Mau ngapain kesana?"
"Lah, keluarga gue kan semuanya kerja disana"
"I..iya sih"
"Eh, ga jadi deh. Gak ada temen."
"Iya yaudah lain kali aja, tar gue temenin kalau lagi gak ada urusan."
"Oke."
"Ya udah gue duluan ya."
Aku mengangguk. Juna pergi dengan berjalan kaki. Sedangkan aku menuju parkiran mobil. Namun aku langsung berlari menuju tukang ojeg yang sudah ku sewa beberapa menit yang lalu. Kemudian aku membuntuti Juna. Benar saja, ia kembali datang ke rumah sakit. Apa dia sakit?
Perlahan-lahan aku terus membuntutinya. Ia menuju sebuah ruang inap. Siapa yang sedang sakit ya? Mengapa ia tak pernah menceritakannya padaku?
Ia masuk ke dalam tanpa ragu. Aku memberanikan diri untuk mengintipnya dari kaca pintu yang kecil. Ternyata Juna menjenguk seorang perempuan. Kupikir itu pacar Juna yang ia rahasiakan. Aku sempat lega karena bukan Juna yang sakit. Namun aku juga jadi tak tega memikirkan perasaan Juna yang pacarnya sedang sakit. Ia pasti sedih sekali.
Aku belum beranjak pergi dari depan kamar itu. Satu jam kemudian Juna keluar dan pergi tanpa menyadariku. Aku akan pulang jika Juna sudah berjalan jauh. Aku pikir Juna tidak boleh tahu aku mengikutinya. Itu tidak sopan. Namun tiba-tiba Ayah menemukanku.
"Elang, ngapain disini?"
Sebelum Juna menyadarinya, aku bergegas menarik Ayah dan membawanya ke kamar lain. Syukurlah, kamar yang kumasuki adalah kamar kosong.
"Ada apa sih?" Tanya Ayah heran.
"Itu, barusan ngikutin Juna, taunya dia jenguk pacarnya yang lagi sakit."
"Oh, Juna temen sekolah kamu? Punya pacar toh dia?"
"Iya."
Ayah mengintip keluar dan memberitahuku bahwa Juna sudah tidak ada. Akupun mulai melangkahkan kakiku keluar kamar itu. Namun Ayah mundur, dan menabrak tubuhku.
"Aduh."
"Lang."
"Apa?" Kini aku yang bertanya heran.
"Pacarnya dikamar 203?"
"Iya."
"Tadi, Ayah lihat pasiennya dibawa suster keluar. Ayah kok seperti mengenalnya ya?"
"Coba kulihat."
Aku keluar dan melihat wanita yang duduk di kursi roda sambil di dorong seorang suster. Aku tidak mampu mengenalinya karena tubuhnya terhalangi suster itu. Namun aku melihat kamarnya tidak tertutup dengan rapi. Akhirnya aku berniat untuk menutup pintu itu. Tapi karena aku merasa ada yang aneh di dalam kamar itu, aku penasaran dan memasukinya. Ayah menemaniku ke dalam, agar aku aman jika bersama seorang Dokter.
Di dalam kamar itu terpajang banyak foto yang di kaitkan pada tali. Tali itu memanjang dari ujung ke ujung.
"Ayah, ini, semua ini.."
Aku tak menyangkanya. Semua itu adalah gambar diriku. Gambarku di umur lima tahun hingga sekarang. Foto terakhir adalah fotoku yang sedang memakai seragam pasien rumah sakit. Aku kira itu adalah ketika Fery menendang perutku.
"Ini semua, foto kamu kan? Kenapa ada disini?" tanya Ayah kebingungan.
Mataku sudah berkaca-kaca menduga hal yang tidak ingin aku terima. Aku mencoba memberanikan diri membaca biodata pasien yang berada di depan kasurnya.
Fina Oktavia
"Ayah..." aku hanya sanggup memanggil Ayah, seterusnya aku hanya bisa terisak.
Ayah membaca nama itu, dan menyadari bahwa itu kakakku. Kakak kandungku. Kakak kandungku yang meninggalkanku, lagi.
Aku tak bisa jika melihat Kak Fina sakit, walau sedikit saja. Meski sebentar saja. Apalagi melihat namanya terpampang di kasur pasien. Aku ingin bertanya, sakit apa dia? Tapi aku takut bahwa hatiku belum sanggup mendengarnya. Aku memang belum sanggup menerimanya. Aku tahu ia menyakitiku dengan perpisahan dingin itu. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa disetiap harinya, aku merindukan kakakku. Aku mengharapkan kehadirannya.
Tangisku mulai tak tertahan. Ayah menghampiriku dan mulai mencoba menabahkanku.
"Maaf, Ayah gak tahu kalau.."
Aku menggeleng.
"Engga Yah, kita memang tidak boleh tahu. Kak Fina pasti tidak ingin kita semua tahu."
Ayah membuka kacamatanya yang mulai basah.
"Ayo kita keluar saja, sebelum Kak Fina datang."
Ayah mengangguk dan menemaniku pulang. Karena khawatir dengan keadaanku, Ayah menelpon Ibu dan memintanya pulang lebih awal.
"Bu, Elang sakit. Ayah lagi nganterin pulang ke rumah, tapi harus langsung balik lagi ke Rumah sakit. Ibu pulang sekarang ya, jagain Elang."
Sesampainya di rumah, aku langsung berjalan menuju kamarku di lantai dua. Aku berjalan bagai mayat hidup. Bi Dewi melihatku khawatir. Ayah menyuruhnya untuk membuatkanku teh manis, kemudian Ayah pergi lagi.
Di kamar, aku terbaring diatas kasur, tanpa menutup mataku. Mataku kosong. Pikiranku kemana-mana. Aku tak sempat memikirkan teh manis Bi Dewi yang sudah sejam aku diamkan. Ibu akhirnya datang dan menghampiriku.
"Elang, kamu kenapa Nak?" tanya Ibu sambil menyentuh keningku.
Aku kemudian duduk. Aku mulai menarik napas untuk mengatur perasaanku. Tak lama aku menagis. Ibuku mengusap-usap punggungku.
"Ya sudah, menagis saja. Jangan ditahan."
Kak Fina, pasti aku salah membencimu? Mengapa aku, adikmu tidak menyadari bahwa kau sedang sakit. Apa kau baik-baik saja? Apa kau kesepian? Mengapa kamu tidak menahanku dan memintaku untuk mengurusmu. Pasti kau takut merepotkanku. Dasar Kak Fina bodoh. Kau tidak tahu betapa sakitnya aku melihatmu begitu. Sendiri dan sakit. Ketika perpisahan itu, pasti kita merasakan sakit yang sama. Seharusnya aku tahu dan memaksamu untuk jujur padaku. Mengapa aku harus percaya perkataanmu waktu itu, Maafkan aku Kak, aku memang bodoh.
Tangisku semakin menjadi. Ibu dengan sabar menemaniku tanpa berhenti mengusap punggungku. Sampai aku tak bisa mengatur tangisku lagi, Ibu menjadi sandaranku. Di dada Ibu aku terus mengeluarkan kesakitan di dalam dadaku. Hingga baju mahal Ibu basah, ia tetap menerimanya. Sampai aku lelah menangis dan tertidur.
Ibuku menyelimuti tubuhku dan mematikan lampu kamar.
***
YOU ARE READING
Kisah Elang dan Kak Fina
Novela JuvenilElang tahu bahwa ayah dan ibunya yang selama ini tinggal dengannya bukanlah orangtua kandungnya. Meski mereka selalu menutupi kebenarannya, Elang tak pernah bersedih akan hal itu. Elang berpikir ia sudah tak memiliki lagi keluarga kandung. Sampai ti...