Bab 2 Part 2

28 7 0
                                    

Dihari-hari sebelumnya aku tak pernah mau duduk di belakang Kak Fina dan memaksa Kak Fina untuk membiarkan aku yang mengendarai motornya. Tapi tidak pagi ini. pagi ini aku benar-benar bagai adik kecil yang rapuh dan membutuhkan perhatian Kakaknya. Rasanya aku seperti anak lima tahun yang hilang di jalan tidak tahu arah pulang.

Udara dingin ini membuat tubuhku duduk membungkuk dibalik jaket tebal abu-abu milik Kak Fina. Wangi permen khas Kak Fina membuatku nyaman dan ingin tertidur lagi di kasurnya. Sayang sekali pagi ini aku harus pulang kepada Ayah dan Ibu. Meski memang terlihat benar, memulangkan anak yang kabur, namun bagiku lain. Aku sedikit sedih karena Kak Fina menyerahkanku pada mereka. Tapi, harus bagaimana lagi? Jika tidak begitu mungkin Kak Fina juga akan mendapat masalah. Jika Kak Fina mendapat masalah, aku jadi sedih. Tidak ada pilihan yang lebih baik.

Jantungku berdegup lebih kencang saat kami sampai di gerbang putih yang besar. Kemudian seperti biasa Mang Iyan membukanya sambil tersenyum. Aku turun dari motor dan mengikuti Kak Fina sambil di gandeng tangannya seperti anak SD yang tak bisa menyebrang.

Tok Tok Tok.

Kak Fina mengetuk pintu dengan penuh percaya diri. Tidak seperti pertama kali ia ke rumah ini, seperti kucing yang mengeong lembut agar dipelihara. Pagi ini Kak Fina datang layaknya seorang Kakak. Melihat wajahnya yang sama sekali tidak tersenyum aku jadi khawatir jika Kak Fina akan membentak Ayah. Jika itu terjadi, apakah aku akan terkejut, atau senang? Senang karena merasa di bela.

Ayah kemudian muncul dari balik pintu yang baru saja terbuka. Aku langsung menunduk karena takut akan dimarahi lagi.

"Halo Om."

"Eh Fina, terimakasih sudah mengantarkan Elang pulang. Silakan masuk dulu."

Jawab Ayahku dengan sangat santun. Bersamaan dengan itu Ayah menatapku khawatir mungkin dengan luka diwajahku yang ia berikan.

"Maaf Om, maksud kedatangan saya kesini bukan untuk mengantar Elang pulang. Namun ingin meminta izin untuk membawa Elang tinggal bersama saya. Gaji saya sudah cukup untuk bisa menghidupi Elang. Mulai sekarang, saya yang akan bertanggung jawab atas Elang, sehingga Om tidak usah pusing-pusing lagi mengurusnya apalagi memarahinya."

Jelas Kak Fina. Pernyataan yang dibumbui nada sindiran dan amarah membuat mataku melebar di bawah kepalaku yang masih tertunduk. Jujur, aku terkejut mendengar pernyataan Kak Fina yang akhirnya memintaku kembali padanya. Ayah lebih terkejut lagi dengan sikap Kak Fina yang dingin dan penuh keberanian. Ayah menatapku penuh harap dan sedikit wajah sedih yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Ia mungkin merasa tidak berarti lagi untukku.

"Mungkin, kita harus menanyakan pada Elang, siapa yang akan ia pilih sebagai walinya," tanya Ayah dengan nada sama yang Kak Fina keluarkan sebelumnya.

"Baiklah, Elang, silakan memilih."

Aku sungguh tak percaya pertanyaan ini akan datang padaku. Aku menatap Kak Fina yang penuh percaya diri. Sedangkan wajah Ayah penuh dengan rasa bersalah dan kecemasan.

"Elang akan bersama keluarga kandung Elang," kataku akhirnya.

Perkataan dingin itu keluar saja dari mulutku. Meski wajah Ayah berubah, namun ia tetap bersikap wajar. Tak ada emosi yang Ayah keluarkan. Amarah maupun tangis. Memarahi atau menangisiku.

Aku sangat ingin berhenti merepotkan dan berhutang budi pada Ayah dan Ibu. Dan Kak Fina telah membuka jalannya. Tentu saja aku akan menerima jalan itu. Aku tahu ini akan sedikit menyakiti hati mereka. Namun mereka pasti akan lebih mudah tanpaku. Aku tak usah membuat pusing orang-orang baik seperti mereka. Sudah cukup sampai disini aku menerima kebaikan Ayah dan Ibu.

Setelah merapikan semua baju-baju, aku kembali ke ruang tamu dimana Ayah dan Kak Fina masih berdiam bersama tak bergeming.

"Terimakasih selama ini Ayah dan Ibu mau mengurusku. Mulai sekarang aku tak akan menyusahkan kalian lagi," kataku.

"Sekali lagi terimakasih telah menjaga adikku selama 11 tahun ini. Jika mampu kami akan membayar budi kalian."

Ayahku hanya mengangguk saja. Taka da satu katapun mampu ia keluarkan dari kedua bibirnya yang rapat. Ia menatapku dari depan pintu. Aku melihat wajah sedihnya dari spion motor Kak Fina. Rasanya sedikit khawatir meninggalkan Ayah berdiri disana sendilri. Namun ketika aku kembali menghadap kedepan dan menemukan Kak Fina, aku tersenyum lebar. Seakan kehidupanku baru dimulai kembali. Masa lalu yang sepi seperti tidak ada.

Di perjalanan Kak Fina berteriak padaku.

"Apa kau senang, sekarang kamu tinggal dengan kakak!"

"Iya! Ayo kita rayain!"

Malamnya kami mengunjungi Teras Cikapundung. Teras Cikapundung adalah sejenis taman yang dibangun pemerintah Kota Bandung untuk mempercantik sungai Cikapundung yang berada di Jalan Siliwangi. Meski belum juga resmi dibuka, tapi entah mengapa aku selalu ingin pergi kesini bersama Kak Fina. Dulu saat Cikapundung belum di renovasi aku selalu kesini sendirian. Malam ini aku senang Kak Fina bisa menemaniku. Tidak hanya kami yang selalu datang kesini, banyak pasangan lain juga datang untuk melihat keindahan Teras Cikapundung dari luar. Pekerja-pekerja itu beruntung bisa masuk kedalam.

Aku meneguk kopi di warung dadakan yang biasa dikunjungi para pekerja Teras Cikapundung untuk beristirahat. Sedang Kak Fina hanya minum air aqua.

"Ngopi mulu, tar susah tidur loh."

"Biar ah, biar begadang."

"Begadang jangan begadaaang, kalau tiada artinyaaa, begadang boleh saaajaaa, asal ada temannyaaaa hahahahaha."

Kami langsung menyanyikan lagu Roma Irama si Raja dangdut, sambil mengangkat kedua jempol dan sedikit bergoyang, ala-ala penonton biduan dangdut di acara RT-RT.

Halo bulan sabit di pertengahan Desember. Halo juga bintang-bintang. Halo langit atap Cikapundung. Kalian pasti tahu aku. Malam ini aku tak kesini sendirian, kenalin ini Kak Fina, angan-anganku yang terkabul.

"Lang, nonton yuk."

"Hayuk."

"Ntar, gak sekarang."

"PHP aja si Kakak mah."

"Hahaha, entar abis beres susulan UAS, tapi nilainya harus bagus. Kalau ga bagus nonton DVD aja di apartement."

"Apaan gak rame ah, paling drama korea lagi drama korea lagi. Kali-kali mah Naruto, one piece atau apa gitu yang rada keren."

"Ya gimana Kakak dong, yang punya nya juga siapa."

"Oh iya ya, lupa."

"Hahahahha."

"Parah punya Kakak begini ih."

Kami tertawa bersama. Semua hal-hal buruk yang terjadi padaku beberapa hari lalu sama sekali tak menjadi pikiran atau beban bagiku. Jika Kak Fina sudah ada disampingku, semua yang aku rasakan hanyalah kesenangan, kenyamanan, keamanan, kebersihan, ketertiban (Eh, ko jadi slogan).

Ah, aku bahagia. Rasanya aku ingin mengontrak paparazzi untuk memfoto semua kegiatanku dengan Kak Fina. Dan juga membayar penulis untuk menceritakan betapa kisahku dengannya begitu bahagia. Hingga semua orang tahu dan iri padaku. Termasuk orang-orang yang sebelum ini mengumbar senyuman mereka seakan aku tak pernah bisa mendapatkannya.

"Yuk ah kita pulang, udah dingin," ajak Kak Fina sambil berdiri dan menggidikan kedua bahunya.

Aku menyalakan si Pinky (motor maticnya Kak Fina) dan melaju ke tempat terhangat, teristimewa, ha ha ha ha ha ha ha ha ha haaa (Yel yel-nya Cherry Bell). Di jalan Kak Fina mengepalkan dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaketku.

***

Kisah Elang dan Kak FinaWhere stories live. Discover now