Tiga

2.9K 265 12
                                    

FALISHA memarkirkan mobilnya di pelataran parkir rumah sakit. Kalau saja Akara tidak meminta bantuannya, dia lebih baik menghabiskan waktunya dengan membuat brownies saja di rumah. Tapi adik kembarnya itu bilang dia lelah dan meminta Falisha menjemputnya di rumah sakit setelah perjalanannya yang cukup lama.

"Lagian kenapa gak naik taksi aja. Dia gak kekurangan uang kan? Perasaan uang saku dari Papa gak jauh beda. Di rumah sakit dia digaji juga kan? Digaji gak sih?" Falisha terus saja menggerutu sepanjang perjalanannya menuju ruangan Gilang—direktur rumah sakit yang dalam status keluarga merupakan kakak sepupunya sekaligus pamannya itu—Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menganggapnya aneh.

Sedikit penjelasan menganai hubungannya dengan Gilang. Dari pihak keluarga ayahnya, Gilang merupakan paman Falisha karena dia adalah kakak kembar dari tantenya Falisha. Namun karena Gilang kemudian menikah dengan kakak sepupunya—Syaquilla, yang merupakan putri dari pamannya—maka secara otomatis dia juga menjadi kakak sepupu Falisha. Jadi seringkali Falisha bingung sendiri harus memanggil pria itu dengan sebutan apa.

Daripada dibingungkan dengan nama panggilan, maka Falisha akhirnya memanggilnya dengan sebutan 'Abang Uncle ' saat sedang sendirian, atau memanggilnya 'Uncle Dokter' saat mereka sedang berada di rumah sakit di depan karyawan paman sekaligus kakak sepupunya itu.

Saat tahu kalau Falisha akan datang ke rumah sakit untuk menjemput Akara, Gilang memintanya—atau lebih tepatnya memerintahkannya—untuk mampir dulu ke ruangannya untuk membawa vitamin dan juga obat miliknya.

"Gini nih, kalo punya keluarga dokter. Gak bisa ngeluh dikit, maen periksa, maen kasih vitamin lah, obat lah, blah blah blah." Falisha melanjutkan gerutuannya.

Dalam perjalanannya menuju ruangan Gilang, Falisha melewati bangsal anak dan langkahnya terhenti karena disana, dia melihat sosok pria yang akhir pekan lalu bertugas di panti asuhan keluarganya.

"Mas, Mas Dokter!" Panggilnya dengan suara lantang seraya melambaikan tangan.

Mendengar namanya disebut, Gibran otomatis berbalik. Seorang gadis mungil mengenakan jeans biru belel dan kaos putih panjang longgar dengan rambut yang dicepol seadanya tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahnya.

"Dokter kenal?" Amira, salah satu dokter junior yang menemaninya melakukan visit bertanya padanya.

"Enggak." Jawab Gibran datar dan kembali membalikan badan.

"Dokter ih, sombong banget." Gerutu Falisha yang entah bagaimana kini sudah berdiri dan melangkah mensejajari mereka. Kedua tangannya ia tautkan di belakang punggungnya. "Dokter, gimana tawaran saya waktu itu. Masih berlaku loh." Ucapnya seraya berjalan menyamping.

"Tawaran apa?" Tanya Gibran dengan ekspresi datarnya.

"Itu loh, yang jadi pacar saya. Jadi suami juga boleh." Falisha memandangnya, lagi-lagi sambil mengedip-kedipkan matanya. Amira memandang Falisha dengan tatapan terkejut lalu mencebik tak suka.

"Tanpa saya pikirkan juga, jawaban saya tidak." Jawab Gibran dingin.

Tawa yang tersamarkan batuk terdengar dari mulut Amira. Falisha mendelik. Secara terang-terangan menunjuk Amira sebagai saingannya.

"Dokter kok gitu sih. Padahal kita udah ngabisin sabtu minggu bareng. Masa iya masih ditolak juga. Terima dong. Nanti keburu saya digebet orang gimana?" Gibran menunduk dan memandang Falisha dengan tatapan tajamnya.

"Jangan bicara yang tidak-tidak dan membuat orang berasumsi yang tidak-tidak, Nona." Tegurnya seraya masuk ke ruangannya dan dengan gerakan cepat menutupnya, seolah takut kalau Falisha akan ikut masuk ke dalamnya.

My Doctor, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang