II: Bunda

8 2 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang di angkutan umum, Hazel memikirkan laki-laki yang menghampirinya tadi. Sebenarnya tidak ada yang salah darinya, namun Hazel masih berkalut dengan traumanya. Ia kemudian memasang earphone di telinganya, dan mendengarkan lagu favorit dari penyanyi favoritnya selama ini, Euphoria by Jeon Jungkook.

Selama setengah tahun ini, tidak mudah bagi Hazel untuk menjalani hidupnya. Hari-harinya selalu dipenuhi ketakutan dan penyesalan. Ia harus mencari sendiri apa hal yang dapat membuatnya sembuh dan melepaskan ketakutan dan penyesalannya. Sampai saat ini, ia belum menemukan. Dan itu sangat melelahkan.

"Assalamualaikum," sapanya saat memasuki rumah. "Waalaikumsalam," terdengar suara Bundanya dari dapur, Hazel menghampiri kemudian salim. "Keujanan gak?" Hazel menggelengkan kepalanya, "Aku pakai payung tadi." Bundannya mengangguk mengerti,

"Yaudah sana mandi terus nanti makan. Ini Bunda udah masak,"

"Iya Bun."

"KAKAKKK!!" teriak kedua adiknya saat melihat Hazel mau menaiki tangga. Mereka berdua berlari menghampirinya, "Apa?" tanya Hazel malas. "Aku bikin gelang buat kakak!" ujar Fayra sambil menunjukkan gelang berwarna abu-putih itu. "Aku bikin daun buat kakak!" ujar Farel tak mau kalah, ia menunjukkan daun dari origami yang telah ia buat.

"Makasih yah!" ucap Hazel tersenyum lalu mengambil kedua hadiah dari adik kembarnya itu.

Setelahnya Hazel, melanjutkan langkahnya menaiki tangga. "Kak, kiss nya mana?" protes Fayra kesal, Hazel kemudian turun kembali dan mencium pipi kedua adiknya itu. "Makasih yaaah!" Fayra dan Farel tertawa senang setelah dicium olehnya.

Beberapa menit setelah mandi, ia mengecek ponselnya. Ada beberapa pesan masuk di whatsapp. Tapi hanya satu yang menarik perhatiannya.

+6282100982: Missing something?

Ia mengerutkan keningnya, kemudian terkejut melihat display namenya.

"Vante Herma Dirgantara"

Hazel: ?

+6282100982: save kontak gue dulu

Hazel: buat?

+6282100982: nanti gue kasih tau

Hazel berpikir sejenak, apakah ia harus menyimpan kontak laki-laki aneh ini atau tidak. "Save aja kali ya, itung-itung nebus kesalahan gue tadi."

Hazel: udah

Hazel: sent screenshoot

Vante: buku matematika.

Gadis itu terkejut lalu mencari buku matematika di tasnya. Nihil. Lalu ia mengingat kembali kejadian di pinggir lapangan tadi. Ia meninggalkan buku matematikanya disana.

Hazel: oh gosh, lo tau ada dimana?

Vante: tau

Hazel: dimana?

Vante: dirumah gue, ini gue lagi nyontek

Hazel: oh thank god. Makasih ya.

Vante: lo gak marah gue contekin?

Hazel: ya, yang penting gak lo robekin

Vante: becanda kok

Hazel: okey?

Vante: besok gue kembaliin. Untung gue baik. Coba kalo tadi orang lain yang sama lo, pasti gak bakal dikembaliin.

Hazel: okey Vante. thankyou then. :)

Vante: jangan nangis lagi hazel.

Hazel mengerinyitkan dahinya, tau darimana Hazel menangis tadi? Padahal saat ia lari dari Vante, gadis itu belum menangis hanya ketakutan.

"Kak, makan dulu." ujar Bunda dari depan pintu kamar membuat lamunan nya buyar. "Iya bun," Hazel lalu menyimpan ponselnya dan bergegas ke ruang makan.

Di ruang makan ia menemukan Ayah dan Kakak laki-lakinya yang ternyata sudah pulang bekerja. "Loh, kok tumben udah pulang?" tanya Hazel sambil mengambil piring.

"Hari ini kan ulang tahun abang, harus dirayain dong." Ayahnya terkekeh sambil menyikut siku abangnya. "Aduh, Ayah apaansih?" Kakak laki-lakinya itu tersenyum kecil, sementara dirinya masih mengerinyitkan dahi. Bagaimana bisa ia lupa hari ini ulang tahun abangnya sendiri?

"Kamu lupa?" tanya Bian melihat ekspresi Hazel. Gadis itu membulatkan matanya, "Maaf ya bang, kayanya ini efek-"

"Iya gak papa, Zel." Potong Bian menenangkan. Hazel memang sudah terbiasa di maklumi karna penyakitnya ini. Namun keluarganya tetap mendukung dan menyemangati dia agar ia dapat sembuh dan lepas dari penyakitnya ini.

Makan malam berlangsung ramai dan menyenangkan. Rasa hangat menyelimuti Hazel, selama ini ia benci keramaian, namun tidak jika berada di tengah-tengah keluarganya. Rasanya aman dan terlindungi. Ia sangat menyukai suasana ini.

"Bun?" panggil Hazel saat mereka berdua tengah membereskan meja makan. "Kenapa kak?"

"Bun aku mau cerita," Bundanya kemudian melihat ke sekitar, terlihat sepi dan tidak ada orang. Kayaknya sedang berada di ruang keluarga.

"Cerita aja kak, lagi pada nonton tv kayanya." Hazel melihat sekitar, sudah aman. Ia pun duduk di kursi meja makan lalu menghirup nafas panjang, bersiap untuk cerita.

"Bun, tadi aku kambuh lagi."

Bunda seketika menghentikan aktivitas nya dan ikut duduk di kursi sebelah Hazel. "Kenapa?" tanya Bundanya.

Hazel lalu bercerita tentang kejadian siang tadi saat ia bertemu Vante di pinggir lapangan dan menangis di kelas. "Bun, aku tau cowo itu sama sekali gak salah. Tapi aku takut. Aku masih takut, Bun." Lirihnya sambil menunduk sedih.

Bunda memegang tangan Hazel, lalu menarik lengan baju Hazel, terlihat banyak bekas sayatan disana. Terlebih lagi ada yang masih baru mengering, artinya semalam Hazel pasti melakukan 'ini' lagi.

Bunda memaklumi, kemudian mengambil betadine dan kapas. "Bunda ngerti kak. Bunda sangat ngerti." Katanya halus sambil mengobati luka sayatan Hazel.

"Kaya gini tuh memang sangat menderita, tapi kamu gak boleh memandang semua orang itu jahat dan akan berbuat hal yang sama seperti 'orang itu' dulu." Hazel menghela nafasnya berat.

"Penyakit ini harus kamu lawan, kamu gak mau kan penyakit ini mengontrol perilaku kamu terus?"

Gadis itu mengangguk lemah, "Jadi kamu harus sering nguatin diri sendiri. Dan kamu harus berpikir positif, inget kata Dokter Gerald."

"Besok kamu coba ngobrol dan minta maaf sama Vante. Siapa tau kamu bisa nambah temen lagi kan? Apalagi ini cowo, lumayan kak." Seru Bunda lalu membuang kapas bekas setelah selesai mengobati Hazel.

"Lumayan apa bun?"

"Lumayan buat jadi pengantar martabak manis."

Mereka berdua tertawa, Bunda mengusap kepala Hazel mengingatkan betapa berharganya Hazel di hidupnya ini.

***

hello guys, jangan lupa votes!! 👻

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang