VII: Abang

2 1 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, Hazel memikirkan isi kepala Vante saat melihat Hazel adalah pasien dari papanya sendiri. Ia khawatir Vante menganggapnya gila, dan setelahnya Vante tidak mau berteman dengannya.

Walaupun begitu, menurutnya Vante adalah laki-laki baik. Sehingga Hazel sangat ingin berteman dengannya. Jangan sampai, setelah ini Vante jadi menjauh dari Hazel.

“Dek?”

Tidak ada balasan. Bian menatap adiknya yang terlihat cemas sambil menatap keluar dari jendela mobil.

“Zel,” panggilnya lagi sambil menepuk bahu Hazel. Gadis itu terkejut, lalu menatap kakanya, “Kenapa bang?”

“Kok melamun? Kenapa?”

Hazel tersenyum, “Gak papa.” Bian menghela nafas, mengerti kalau adiknya itu memang susah untuk terbuka.

“Mau ke MCD dulu gak?” tawar abangnya itu. Hazel mengangguk semangat, “MAUU!”

Bian tersenyum, segera belok kanan menuju Mc Donald dekat rumah mereka. Setelah sampai, mereka berdua segera memesan. “Mau mc flurry?” tanya abangnya yang tengah memesan.

Hazel yang berada di sampingnya mengangguk, “Mau, yang coklat.”

Setelah 5 menit menunggu, mereka berdua mencari tempat duduk.

Mereka memilih tempat di pinggir dekat kaca. Hazel tersenyum semangat, kemudian makan dengan lahap. Seperti biasa, Bian selalu ikut tersenyum ketika Hazel tersenyum. Rasanya ikut bahagia melihat adiknya senang.

“Kamu beneran temenan sama anaknya Dokter Gerald?” tanya Bian setelah menghabiskan makanannya.

“Iya, beneran. Dia orangnya baik kok,” jawab Hazel sambil masih melahap makanannya yang hampir habis.

“Dia tau kalo kamu ngalamin trauma?”

Hazel mengunyah suapan terakhir, lalu meminum cola. Gadis itu menghela nafasnya, mulai bercerita tentang kejadian di pinggir lapangan tempo hari.

“Kayanya dia tau aku ngalamin gangguan psikologis. Tapi gak tau kalo aku ngalamin trauma. Dia juga pasti gak tau kalo aku salah satu pasien dari papanya.”

Bian mengangguk paham. “Tapi bang,”

“Kenapa?”

“Aku takut dia nganggep aku gila. Aku takut dia gak mau temenan lagi sama aku, soalnya dia baik. Dan kita baru aja temenan,” lirihnya pelan, menunduk sedih.

Abangnya lalu mengusap rambutnya pelan, “Dek, ke psikolog itu bukan berarti kamu gila. Kalau dia nganggep kamu gila, pasti kamu gak bakal ditemenin sama dia dari awal kenalan. Buktinya waktu kamu trauma, dia masih mau ngembaliin buku kamu. Bahkan ngobrol sama kamu. Tenang aja, dia gak bakal nganggep kamu gila.”

“Lagian dari cerita kamu, abang bisa nyimpulin dia orang baik kok. Toh, dia juga anaknya psikolog, gak mungkin anaknya dokter Gerald itu nakal. Meskipun pas abang liat tadi sih agak berantakan,” Hazel tertawa mendengar opini abangnya itu.

“Iya juga ya, mana belum mandi lagi.”
Mereka berdua tertawa sambil memakan mcflurry masing-masing.

“Oh iya, adek jadinya mau kuliah jurusan apa?”

Hazel berpikir sebentar, “Belum ketemu jurusan yang tepat sih, nanti aku pikir-pikir lagi.”

***
semoga abis ini di endorse mcd 😂✊

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang