“Hari ini, guru-guru rapat sampai zuhur. Sehingga, murid-murid hanya diberi tugas sesuai mata pelajaran yang dijadwalkan. Sekian, terima kasih.” Seru Pak Zikri saat menyampaikan pengumuman setelah upacara selesai. Mendengar itu, seluruh murid bersorak sorai gembira. Termasuk Hazel, Friska, Mona, dan Dira.
Terlihat dari arah depan samping barisan kelas IPS 2, Vante melihatnya tersenyum. Hazel salah tingkah, menyadari bahwa ternyata Vante itu,
Tampan.
Sadar ditatap balik oleh Hazel, Vante terkejut lalu berbalik badan. Malu. Menyadari itu, Hazel tersenyum lebar. Lucu sekali melihat laki-laki itu.
Setelah di bubarkan, siswa-siswi berbalik menuju kelasnya masing-masing. Tak lama, Bu Iren datang, memberi tugas matematika 10 soal.
“Habis istirahat dikumpulkan di meja ibu ya,” Bu Iren lalu keluar, menyusuli guru-guru lain untuk rapat di ruang kepala sekolah.
Suasana kelas menjadi berisik, maklum anak IPS. Minatnya dengan matematika sangat kecil, bahkan tidak ada. Namun tidak dengan Hazel, ia berusaha menyelesaikan 10 soal matematika tersebut. Namun ia tak bisa fokus karna suasana kelas terlalu berisik.
“Fris, kalo ke rooftop lewat tangga mana?” tanyanya pada Friska yang tengah browsing jawaban di internet.
“Lewat tangga sebelah 11 IPS 3,” jawabnya sambil menscroll ponselnya. Hazel berjalan pergi menuju rooftop sambil membawa buku matematikanya.
Sampai di rooftop, angin sejuk menerpanya. Masih pagi jadi masih sedikit dingin. Terlihat pemandangan gunung salak dan kota Bogor yang terlihat kecil. Pinggir rooftop dibatasi dengan tembok yang tidak terlalu tinggi, sehingga tidak berbahaya.
Desainnya pun sangat mirip dengan taman, banyak pohon yang sedang juga bangku taman di sebelahnya.
Hazel sebenarnya merasa ada ingatan buruk tentang rooftop. Namun ia mencoba berpikir positif, toh rooftop ini tidak sepi. Ada beberapa anak-anak lain yang tengah mengerjakan tugas juga. Ia lalu duduk di bangku dekat pinggir rooftop, lalu mengerjakan tugasnya dengan tenang.
Tak lama ada seseorang duduk di sebelahnya, “Hai.” Sapanya ramah.
Hazel menoleh, melihat laki-laki itu tengah tersenyum lebar menampakkan gigi kelincinya. Dia sangat manis. “Halo,” balasnya tersenyum.
“Gue Biya, 11 IPA 2.” Katanya memperkenalkan diri, Hazel menarik nafas mencoba untuk tidak gugup dan berpikir positif.
“Hazel, 12 IPS 3.” Balasnya singkat.
“Oh kakak kelas? Maaf ya kak,” katanya sopan. “Iya gak papa.”
“Kok sendiri, kak?”
“Heh, gangguin kakak kelas.” Sahut seseorang dibelakang mereka.
Vante.
“Biya kan pengen kenal kak,” ujarnya manja. Hazel tersenyum, lucu pikirnya.
“Di cariin tuh sama Satria. Katanya mau susu pisang gak,” ujar Vante mengusir Biya secara tidak langsung. “Mana kak satria nya?” tanyanya.
“Itu,” sambil menunjuk pojok rooftop, ada 5 orang laki-laki disana. “Oh yaudah. Dadah Kak Hazel!!” katanya pergi melambaikan tangan pada Hazel.
“Dadah!” Hazel balas melambaikan tangan.
Vante lalu duduk di samping Hazel. Keduanya sama-sama merasa gugup, karna kejadian tadi pagi.
“Kok disini?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
Подростковая литература"definisi rumah sesungguhnya adalah; seseorang yang dapat menampung tumpah ruah keluh kesahmu, mengobati pilu tragis perasaanmu, dan mendekap erat jiwa berhargamu. aku mau pulang." this story is about depression, mental illness, trauma, self harrasm...