IX: Tangan

9 2 0
                                    

“Kok disini?” tanya Vante memulai obrolan.

“Kan orangnya suka sepi,”

Vante tersenyum, “Kenapa kalo ketemu pas lagi ngerjain matematika sih?” protes Vante melihat Hazel tengah mengerjakan soal matematikanya.

“Ini tugas tauk,” jawabnya tertawa.

“Tet,” panggilnya. “Ya?”

“Gue gak gila,” katanya tiba-tiba.

Vante terkejut, “Siapa yang bilang lo gila?”

“Mau ngasih tau aja. Hari sabtu kemarin-“

“Ke psikolog bukan berarti gila kan Zel? Lo tau itu,” Hazel tersenyum lalu merapihkan buku matematikanya, gadis itu telah selesai mengerjakan tugasnya.

“Lo masih mau temenan sama gue kan?” tanya Hazel hati-hati.

“Emang kita temenan Zel?” balas Vante bercanda sambil terkekeh. “Ih sumpah, ngeselin!” sahutnya gemas.

Laki-laki itu tertawa melihat ekspresi Hazel, gadis itu pun jadi ikut tertawa. “Iya zel kita temenan. Gue masih mau kok temenan sama lo,”

“Lo tau gue ngalamin apa?”

“Trauma?” tanya Vante pelan.

Hazel mengangguk, menghela nafasnya. “Udah berapa lama?”

“Ini bulan ke-6. Udah hampir setengah tahun. Tapi terapi ke Dokter Gerald baru sekitar 4 bulan.” Jelasnya. Vante mengangguk paham.

“Kok gue gak pernah ketemu lo ya?” tanya Hazel penasaran.

Vante tertawa, “Gue males banget Zel ke klinik Papa. Sebenernya trauma sih, dulu pernah dijambak sama tante-tante gitu. Pasien papa.” Hazel tertawa kencang.

“Kok bisa sih?” tanyanya sambil terus tertawa.

“Iya waktu itu Mba Kinan, gak masuk. Gue disuruh gantiin sama Papa. Gue bawain minuman tuh ya, terus gue tiba-tiba dijambak. Pelampiasan katanya,”

Hazel terus tertawa mendengarnya. “Muka lo ngeselin kali Tet,”

“Enak aja, ganteng gini.” Hazel bergidik geli sambil terus tertawa.

“Makanya gue gak mau ke klinik papa lagi. Trauma.” Gadis itu tersenyum mengangguk paham. Hazel lalu berjalan ke pinggir tembok rooftop, melihat pemandangan sekitar. Vante mengikutinya.

“Kenapa bisa trauma?”

Hazel tersenyum, “Ini lo peduli atau mau tau aja?” tanyanya penasaran.

“Kata papa, lo harus sembuh. Dan cara salah satu sembuhin lo itu, lo harus cerita sama gue tentang sebab trauma lo. Jadi ya, gue niat bantu lo.” katanya pelan, salah tingkah dengan omongannya sendiri. Melihatnya, Hazel tersenyum lebar.

“Van,” panggil seseorang di belakang.
Mereka berdua menoleh mendapati Bobi, teman Vante yang wajahnya terlihat angkuh dan judes.

Bobi mendekat pada mereka. Melihatnya, memori Hazel terputar. Posisi Bobi saat ini persis mirip saat Anggra menghampirinya lalu menamparnya. Nafasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang. Gadis itu berbalik badan, tidak mau menatap Bobi lebih lama.

Vante melihat Hazel heran. Bahunya bergetar, persis sama saat gadis itu mengalami trauma saat pertama kali bertemu dengannya. Tanpa izin, Vante menggenggam tangannya, berharap Hazel segera tenang. Dan ya, bahu Hazel berhenti bergetar, namun jantungnya semakin berdegup kencang.

“Kenapa?” tanya Vante saat Bobi tepat berada di depannya.

“Gue mau ngerjain tugas geo tapi gue gak nyatet minggu kemarin. Gue pinjem buku lo ya,” Vante mengerlingkan matanya malas,

“Kebiasaan. Yaudah ambil aja, minta aja ke Refan.” Katanya mengizinkan.
“Oke deh, makasih bro.”

Vante berbalik, menatap Hazel yang tengah memejamkan matanya takut.

“Zel? Kenapa?” tanyanya heran, padahal bahu Hazel sudah berhenti bergetar.

“Lo biasa megang tangan orang ya?” katanya tetap memejamkan matanya, gemas.

Vante melepas genggamannya sambil tertawa gemas. “Baru pertama kali selain sama mama sih. Kenapa?”

Gadis itu mulai membuka matanya, pipinya merah, blushing. “Bohong,”

“Kata papa gak boleh bohong, dosa.” Jawab Vante tertawa lagi.

“Makasih ya, walaupun nambah deg-degan tapi sedikit tenang kok.”

Vante tertawa kencang, “Jujur banget sih,” Hazel tersenyum malu, namun ia sedikit merasa lega sekaligus senang. Pagi ini rasanya banyak senyum yang ia keluarkan.

“Kok bisa panik attack gitu tadi?”

“Pas Bobi manggil dan ngehampirin lo, ingatan buruk gue muncul. Waktu itu ‘dia’ manggil dan ngehampirin gue. Abis itu 'dia' nampar gue.”

Vante terkejut, “Anjir.”

“Terus gimana?”

Tringgggg

Bel istirahat berbunyi, “Tet, kalo gue udah siap ceritain semuanya, gue bakal cerita ke lo kok. Tunggu aja ya. Gue balik ke kelas,” katanya lalu pergi meninggalkan Vante dengan banyak pertanyaan.

***

JANGAN LUPA VOTESSS ✨🌈💜

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang