V for Vante

2 1 0
                                    

“Abang udah minta izin ke Ayah?” tanya Hazel saat mereka berdua berjalan ke garasi mobil milik keluarganya itu. “Udah, ke Bunda juga udah.” Gadis itu mengangguk mengerti, lalu masuk ke mobil milik Ayahnya itu.

Setelah mesin mobil panas, Bian menjalankan mobil menuju Dokter Gerald, psikolog yang mengobati Hazel selama ini. Perjalanan cukup jauh, memakan waktu 30 menit dari rumah mereka.

“Bang, kok tumben sih?” tanya Hazel memecah keheningan.

“Kamu bener-bener gak inget semalem kamu ngapain?” tanya Bian sekali lagi.

“Enggak.”

Bian menghela nafas, “Nanti aja abang cerita pas sama dokter.”

“Loh kok, gak ke arah tempat biasa sih?” tanya Hazel saat Bian membelokkan stir. “Iya, kata Bunda hari ini Dokter Gerald di rumah, soalnya istrinya sakit. Jadi kita ke rumahnya aja ya.” Hazel mengangguk mengerti.

Tak lama, mereka pun sampai di depan rumah bercat coklat mocca dengan perpaduan putih. Mereka berdua pun keluar mobil setelah parkir di depan rumah Dokter Gerald. “Bener nih bang rumahnya?" tanya Hazel memastikan.

“Iya, liat lokasinya sih ini.” kata Bian sambil menunjuk google maps di ponselnya.

“Yuk,” Mereka lalu berjalan menuju gerbang rumah Dokter Gerald.

“Permisi, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” tak lama sahutan seorang perempuan terdengar. Perempuan itu lalu membuka gerbangnya, “Pasiennya tuan Gerald ya?” katanya memastikan.

“Iya,”

“Ayo silahkan masuk.”

Mereka berdua masuk, disusul dengan bibi itu didepananya. “Duduk dulu, bentar saya panggilkan tuan Gerald dulu,” katanya lalu pergi.

Hazel dan Bian duduk di sofa ruang tamu. “Bagus ya,” gumam Bian takjub karna rumah mereka terlihat simple namun sangat elegan. Banyak seni, piala, dan mendali yang terpajang di rak besar belakang sofa.

“Halo!” sapa Dokter Gerald tiba-tiba, “Halo dokter!” mereka berdua kemudian bersalaman bergantian dengan dokter.

“Maaf ya, kalian jadi kesini. Istri saya lagi sakit soalnya,”

Bian tersenyum, “Gak papa dok. Oh iya ini ada titipan dari Bunda, tadi pagi bikin brownies.” Ujarnya sambil menyodorkan paper bag berisi brownies.

“Wow, terima kasih. Repot-repot nih,” Dokter tersenyum mengambil paper bag itu.

“Van, sini.” Panggil dokter.

Betapa terkejutnya Hazel, melihat Vante menghampiri Dokter Gerald. Laki-laki itu tampak berantakan, matanya terlihat sembap, rambutnya berantakan, memakai kaus dan celana pendek, persis seperti orang baru bangun tidur.

“Astaghfirullah, kan Papa suruh kamu mandi daritadi Vann.” Protes Dokter kesal. Vante mulai membuka matanya lebar,

“Ngapain papa manggil?” suaranya sangat berat, “Ini ada brownies, dari pasien papa. Oh iya kayanya kamu seumuran sama Hazel. Ini Bian, ini Hazel.” Kata dokter menunjuk Bian dan Hazel.

“Kenalin ini Vante,”

Vante menoleh, merasa kenal dengan perempuan berambut pendek sebahu ini. Ia membulatkan matanya terkejut, “HAZEL??”

Gadis itu tersenyum, “Halo, Vante.” Balasnya.

“Loh kalian udah saling kenal?” tanya dokter heran.

“Iya, aku sama Hazel satu sekolah tapi beda kelas.” Dokter Gerald mengangguk mengerti, “Yaudah sana. Taruh ini terus mandi, Van.” Laki-laki itu mengangguk mengerti kemudian berbalik menuju ruang makan.

Mengetahui adiknya kini telah mempunyai teman cowok lagi, apalagi beda kelas, Bian tersenyum. Sedikit lega rasanya. Bian menyikut pelan adiknya, lalu berbisik. “Pepetin. Ganteng.” sahutnya. Hazel hanya mengerlingkan matanya malas.

“Jadi, hari ini mau cerita aja atau sekalian treatment?”

“Kayanya saya bakal cerita dulu sedikit dok,” ujar Bian.

“Oh iya boleh, silahkan.”

Diam-diam setelah menaruh paper bag itu ke meja makan, Vante bersembunyi di belakang rak besar yang menjadi pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Bukannya beranjak mandi, ia diam-diam mendengarkan cerita Refan tentang adiknya semalam.

Sepanjang Bian bercerita, Hazel terkejut begitu juga dengan Vante. “Dan ternyata, paginya Hazel lupa dok. Dia lupa semalam dia hampir nyayat tangan lagi,” keluh Bian.

“Tapi Dok, Hazel inget kalo Hazel emang mimpi ‘dia’ lagi semalam. Tapi Hazel gak ingat kalo Hazel bangun dan hampir ngesayat tangan.”

Dokter mengangguk mengerti, “Kapan terakhir kamu nyayat?”

“3 hari yang lalu dok. Kemarin, Hazel ngerasanya gak sedih Dok. Gak takut, gak sedih, gak khawatir. Padahal kemarin Hazel ngerasanya senang dan sedikit lega. Tapi kenapa mimpi itu muncul lagi?”

“Saya rasa, pengalaman buruk itu masih menempel di ingatan Hazel. Dan meskipun mood Hazel  itu lagi baik, belum tentu mimpi mu baik juga. Toh kita gak bisa mengendalikan mimpi kita sendiri kan? Gak papa, itu proses melepas ingatan buruk. Pun sama dengan kejadian lupa-mu itu. Kamu terlalu takut sampai mau menyayat diri sendiri. Sebenarnya satu-dua jam setelah kejadian itu pasti kamu masih ingat, tapi sayangnya jeda kejadian itu dengan kamu bangun tidur itu lebih dari 2 jam. Jadi kamu lupa.” Katanya menjelaskan panjang lebar. Hazel dan Bian menangguk mengerti, begitupun Vante.

“Gak papa Hazel, kamu tingkatin mood baik kamu. Jangan sampai kalah dengan ketakutanmu.” ujar dokter menyemangati. Hazel menghela nafas lega lalu tersenyum mengangguk.

“Kalau urusan trauma-mu gimana?”

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang