7.

813 127 33
                                    


Butuh waktu yang cukup lama bagi Liana untuk akhirnya mengakui kalau mengenal Dimael tidaklah terlalu buruk.

Selain beberapa kecelakaan minor yang melibatkan lebam dan darah, tingkat keseriusan lukanya akhirnya menjadi stabil dan tidak lagi menakutkan. Liana bisa membatasi kejadian yang berpotensi membahayakan lewat keberadaan para proagonis.

Oh, well, meskipun dia harus mengakui kalau Dimael adalah faktor yang paling banyak membantunya menghindari bahaya-bahaya tersebut.

Lelaki itu selalu sigap menariknya saat Liana tidak melihat lantai yang tidak rata ataupun ketika dia mengabaikan paku tajam yang tidak tertanam sempura pada tembok yang akan disandarinya.

Tapi dia bukan orang yang mudah puas.

Selain kecelakaan dan luka, Liana juga tidak menginginkan perhatian dari para fans fanatik kedua pangeran. Mereka berani menindas Asha yang secara terang dilindungi Caprio dan Dimael, jadi dirinya si tokoh abu-abu sudah pasti hanyalah seonggok ampas yang bisa diinjak dengan mudah jika mereka tidak suka.

Oleh karena itu, selama beberapa minggu pertama, Liana masih berusaha menghindari Dimael yang tidak bosan menghampiri mejanya di jam istirahat. Lelaki itu mengira dia menjaga Liana dari kecelakaan, padahal justru karena keberadaannyalah Liana terus terancam.

Ah, mengesalkan.

Tokoh utama yang sok supel dan bertanggung jawab ternyata hanya bagus di dalam novel. Saat ini Liana merasa lebih nyaman dengan Caprio yang bratty dan mudah marah itu. Setidaknya Caprio tidak pernah merecoki Liana lebih dari seharusnya dan fokus terhadap tugasnya sebagai seorang protagonis; mengejar Asha.

Kemudian Liana dengan Asha... yeah, tidak ada yang berubah di antara mereka selain kegiatan kerja kelompok yang dilakukan setiap hari sabtu.

Hari itu sekolah kedatangan tamu dari kementerian pendidikan sehingga jam pelajaran berakhir lebih cepat. Bagi sebagian besar siswa, ini adalah momen langka dimana mereka bisa beristirahat sebentar sebelum kembali dihadapkan pada jadwal mencekik di semester itu. Dengan riang, para siswa di kelas Liana keluar dan berpencar. Tentu saja di antara mereka, ada Asha yang berjalan dengan terburu-buru, diikuti oleh Dimael dan Caprio.

Kelihatannya gadis itu memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk menyelesaikan pekerjaannya—apapun itu—dan kedua pangeran berlomba untuk membantunya.

Syukurlah.

Setidaknya garis besar plot masih berjalan dengan baik.

Liana menjadi siswa terakhir yang ada di kelas yang sepi. Dia berdiri, lalu mereangkan tubuhnya dan mulai menghapus papan tulis.

Tidak ada piket di sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Stellar, tapi sejak memperoleh ingatannya, Liana membangun kebiasaan merapikan kelas setelah selesai belajar jika ada waktu. Dia lumayan suka bersih-bersih, terutama karena sekarang, di kelasnya ada tiga bom atom yang bisa meledak kapan saja. Setidaknya, Liana ingin waktu belajarnya terasa nyaman meski dengan kehadiran tiga orang itu.

Dia mengikat plastik sampah dan mengangkatnya setelah selesai merapikan kelas, kemudian berjalan santai menuju tempat pembuangan sampah yang ada di belakang gedung.

Membuang sampah juga menyenangkan karena dia tidak perlu bertemu dengan siapapun dari para tokoh. Lagipula, hal romantis apa yang bisa dibangun di tempat sampah?

Dia menepuk tangannya setelah meletakkan kantong sampah di antara tumpukan sampah, kemudian mencuci tangan di sebuah kran yang dekat dengan gudang. Ini adalah rutinitas yang selalu dijalankannya.

Tidak pernah ada masalah.

Tidak pernah.

"Oi."

Infinitesimal StringsWhere stories live. Discover now