9.

840 123 21
                                    


"Ini obat penahan sakit, tapi hanya boleh diminum sebelum tidur. Besok aku akan kembali untuk mengganti perbanmu."

"Kau akan kembali lagi?" tanya Liana dengan suara tinggi. "Kau tahu, kurasa malam ini aku akan ke dokter."

Senyuman sinis ditampilkan Dimael kepada Liana. "Jangan khawatir, kalau hanya luka seperti ini—itu yang kau katakan—aku bisa mengurusnya. Lagipula, lebih baik kau beristirahat dan membiarkan lukamu menutup dulu sebelum bepergian."

Menyebalkan, karena yang diucapkan Dimael memang benar.

Liana mendesah, merasa tenggorokannya kering.

Dia berniat mengambil air minum saat Dimael lebih dulu menjangkau gelasnya dan membantunya minum, persis seperti seorang pesakitan.

"Aku bisa sendiri," gerutu Liana setelah tenggorokannya melega.

"Aku tahu," Dimael meletakkan gelas di nakas sebelah tempat tidur Liana. Tatapannya beredar pada setiap sudut ruangan yang sangat berbeda dengan ruangan Asha. Kamar Asha sangat sederhana dan praktis tanpa banyak barang di dalamnya. Sementara Liana, secara mengejutkan menampilkan sisi feminimnya di berbagai sudut ruangan. Ada lukisan amatir yang disandarkan di meja belajarnya, buku-buku dan hiasan bunga palsu, serta berbagai obat-obatan yang langsung membuat Dimael mengerenyit.

Tidak terbayang seberapa sering Liana menghadapi lukanya sendirian hingga dia bisa sesiap ini.

"Aku tahu kau itu mandiri," ulang Dimael. "Tapi bukan berarti kau tidak bisa mengandalkan orang lain yang kebetulan bisa kau andalkan." Mata kelabu Dimael menggelap dan bibirnya menipis. "Ada alasan kenapa aku selalu mengatakan kalau kita adalah teman."

Ya, dan ada alasan kenapa aku tidak menganggapmu teman, pikir Liana.

Mereka tidak bisa berteman.

Dimael, sama seperti Caprio dan Asha, berada dalam perlindungan plot serta siraman cahaya tokoh utama yang akan melindungi mereka sampai cerita berakhir. Atau plot menginginkan hal yang berbeda.

Oleh sebab itu, mereka memberikan pengaruh luar biasa pada tokoh lain, termasuk tokoh semacam Liana. Perempuan itu terpaksa mengakui, bahkan interaksi tanpa makna seperti sekarang telah berhasil membuatnya berdebar. Pesona sang protagonis, kawan-kawan.

Perempuan itu mendesah, lega karena dia bukan orang rakus yang memanfaatkan pengetahuannya mengenai dunia ini untuk merebut tempat Asha. Seseorang yang buta hatinya akan mengabaikan rasa sakit fisik demi utopia semacam itu, terlebih lagi, meski secara mental Liana bukan lagi remaja, hormonnya meneriakkan hal yang berlawanan dengan pikiran warasnya.

Ya, artinya dia sangat terpengaruh oleh para protagonis.

Tapi tidak, dia sama sekali tidak ingin berada di tempat mereka.

"Aku sudah tidak apa-apa. Kau bisa pergi sekarang." Liana menerima tatapan tajam Dimael setelah dia mengusir pemuda itu. Sebuah senyuman terpaksa dimunculkannya. "Tentu saja kau bisa berada di sini selama yang kau mau."

Memangnya mau berapa lama dia di sini.

Dimael menatap Liana sekilas, kemudian berdiri. "Aku akan mengunjungimu lagi besok. Sebaiknya kau menuruti saranku untuk tidak bergerak berlebihan dan membuat parah lukamu." Iris kelabunya menggelap. "Dan makna 'saran' artinya perintah. Kalau kau berani terluka lagi malam ini, aku akan menempeli dan mengganggumu. Kau paham?"

Ugh.

"Tentu saja." Liana memasang senyuman sopan. "Terima kasih. Pintu keluarnya kau sudah tahu, kan?"

Infinitesimal StringsWhere stories live. Discover now