30.

607 93 43
                                    


Liana sangat lelah—lelah dan sedih; kombinasi yang tidak biasa dimilikinya sepanjang hidupnya.

Dia kira kesedihan hanyalah luapan emosi yang tidak berguna karena tidak memberikan penyaluran yang memuaskan seperti rasa marah, ataupun memberikan solusi seperti ketika dia merasa tidak berdaya.

Sedih adalah hal paling manusiawi yang tidak pernah dipedulikan Liana sebagai manusia.

Namun hari itu, gadis itu merasakan buncahan kedua emosi tadi yang mengancam akan meledak kapan saja.

"Jangan dipikirkan, Li," seorang siswa perempuan menepuk bahunya. Wajah teman sekelasnya itu memerah bagaikan lobster karena berada di antara dua pangeran, namun sorot matanya yang serius dan tulus cukup berhasil menggetarkan hati Liana. "Orang itu hanya mengucapkan omong kosong yang tidak masuk akal. Kalau kau mau mempermasalahkannya, aku siap menjadi saksi dan membantumu."

"Benar," siswa yang lain berdiri di depannya dengan senyuman menenangkan. "Kami di kelas ini menyaksikan dengan jelas bagaimana pak tua itu menuduhmu secara sepihak. Kau tidak perlu khawatir, sebelum dia menyebarkan fitnah yang tidak-tidak, aku akan lebih dulu melapor pada bagian kesiswaan."

Liana membalas senyuman siswa itu dengan seperlunya, lalu menggeleng. "Tidak, tidak perlu seperti itu." Tanpa bermaksud merendahkan, tapi selama cerita utama belum selesai, suara tokoh-tokoh pengisi latar seperti mereka tidak akan ada artinya.

Bukan pertama kalinya Liana mengalami ketidakadilan seperti sekarang, meskipun ini kali pertama dia dituduh seperti itu. Dan Liana pada dasarnya bukan orang yang mudah menyerah, jadi dia pun pernah protes.

Berkali-kali.

Tapi hasilnya selalu sama. Ucapannya hanya akan dianggap remeh dan sebuah dusta, lalu dia dicap sebagai siswa puber yang mencari perhatian. Karenanya, Liana tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada orang lain, dalam hal ini, rekan sesama tokoh kelabunya.

Hei, bahkan pengisi latar pun memiliki kesetiakawanan.

"Guru itu jelas-jelas kesal karena siswa yang disponsorinya tidak berhasil memenuhi ekspektasinya di ujian kemarin," tatapan siswi di depan Liana tertuju pada Asha dengan terang-terangan. "Tapi apapun alasannya, bukankah menyerangmu di depan umum dengan bukti yang seratus persen imajinatif itu sudahlah gila?"

"Apa maksud ucapanmu?" sambar Caprio.

Siswi perempuan itu terlihat jelas sangat tertekan dan ketakutan oleh kharisma Caprio, namun memaksakan diri untuk melanjutkan.

"Apakah ada alasan lain bagi guru yang hampir tidak pernah mengurusi kelas ini untuk melakukan hal tak masuk akal semacam itu?"

"Sudah kubilang, aku tidak ada hubungannya dengan masalah ini!" Asha berdiri, menggebrak mejanya dengan mata marah yang berkaca-kaca. "Bukan aku yang memintanya melakukan itu, kenapa ucapanmu sangat tendensius, seakan akulah penyebab semuanya?"

"Kalau begitu, kenapa kau diam selama Liana di tuduh?" seorang siswa lain dari ujung ruangan bertanya dengan kening berkerut. Pemuda itu berjalan dengan tangan terlipat. "Setidaknya, kau harus—"

"Hentikan," Dimael menahan bahu siswa itu. Mata kelabunya berkilat dingin. "Kau sudah melewati batas."

Sejak awal Liana menghindari bertemu pandang dengan Dimael, namun tak ada satu kata pun yang terlewatkan olehnya. Perlindungan Dimael terhadap Asha bagaikan air dingin yang paling dibutuhkan untuk menyadarkannya dari utopia yang sempat sedikit menjeratnya.

Dia mengangguk untuk dirinya sendiri, lalu menahan gumpalan asing di tenggorokannya, lalu tersenyum.

"Tidak apa-apa. Hanya kesalahpahaman yang akan aku luruskan dengan beliau. Terima kasih karena kalian sudah percaya dan membantuku."

Infinitesimal StringsWhere stories live. Discover now