16.

824 125 39
                                    

Liana merasa tingkah laku Dimael menjadi sangat aneh sejak kejadian tadi. Namun jika dinilai secara lebih objektif, sesungguhnya gadis itu tidaklah sesensitif yang selalu dikiranya, sehingga akhirnya hanya menganggap sikap Dimael disebabkan oleh penyesalan atas apa yang sudah dilakukannya pada Asha.

Bisa dipahami, sih, pikirnya dengan penuh keyakinan. Dimael membela tokoh tak penting dan melewatkan kesempatan besar untuk bersama Asha.

Bahkan Liana yang hanya menonton ikut frustrasi karena Dimael terlalu bersikap seperti second male lead yang 'terlalu baik dan terlalu adil'. Frustrasi, tapi bersyukur. Karena sifat Dimael itulah, Liana tadi terselamatkan.

Meski begitu, kini Liana merasa sedikit bersalah dan bersimpati.

"Kau tahu, Dimael," punggung Liana terasa dingin karena setelah kalimat pembukanya, lelaki itu menatapnya dengan tiba-tiba. Seluruh tubuh pemuda itu terarah pada Liana dan iris kelabunya terlihat gelap dan terlalu fokus. Seakan-akan Dimael memusatkan semua inderanya kepada Liana. Gadis itu berdehem sebelum melanjutkan. "Ada kalanya kau harus bertindak dengan tegas dan lugas dalam sebuah ketidakpastian untuk menghilangkan kebingungan," Liana berusaha membuat kalimatnya jelas tanpa terlalu mendikte. "Kalau kau plin-plan, seseorang akan mengambil hal yang sebenarnya kau inginkan ketika kau masih sibuk dalam kebingunganmu itu."

Sebenarnya bukan kapasitas Liana menasihati Dimael, tapi dia merasa kompetisi antara dua pemeran utama pria itu terlalu berat sebelah.

Caprio—meskipun berengsek—selalu ada dan memberikan kesetiaan penuh kepada Asha dalam situasi apapun. Tapi Dimael masih dikendalikan oleh keinginannya menjaga image dengan berbuat adil dan bertindak sok pahlawan, yang sangat payah menurut Liana.

Selama sesaat, wajah Dimael kosong dari emosi. "Memangnya aku boleh bertindak seenaknya?"

Liana nyaris mendesah lega karena lelaki itu paham maksudnya.

"Pada kondisi normal, tentu saja kau tidak bisa selalu seenaknya, apalagi kau 'kan seorang pewaris," gadis itu menekankan poin terpenting sebagai manusia kepada lelaki yang seolah berkarakter dua dimensi itu. "Tapi dalam kondisi tertentu, wajar kalau kau lebih egois untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau tahu, seperti Caprio."

Bibir lelaki itu menipis, namun Liana tetap melanjutkan.

"Lihat bagaimana dia memperjuangkan apa yang diinginkannya secara terang-terangan. Aku sangat tidak berharap kau jadi seperti dia, oh, god forbids, tapi setidaknya tirulah satu persen saja cara dia berperilaku," dan mungkin kau bisa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan Asha.

Tawa Dimael yang tiba-tiba membuat alis Liana saling terpaut.

"Begitu, ya." Dimael menyandarkan punggungnya pada sofa minimalis di kamar Elsa—yang juga memiliki area untuk tamu.

"Aku serius. Kau—"

"Aku mengerti," potong Dimael dengan lembut. "Lalu bagaimana kalau hasilnya tidak baik dan aku malah terluka?"

"Kenapa kau takut terluka ketika kau bahkan belum memulai?"

Dengan geli Dimael berkata, "Aku tidak memulai karena aku takut salah. Dan jika aku salah, maka aku akan terluka."

".... kau jauh lebih pengecut dari yang kukira."

"Memang," akunya. "Apa kau kecewa?"

"Kenapa aku harus kecewa?" balas Liana, heran. "Justru pertanyaannya, apa kau kecewa?"

Senyuman hambar muncul di wajah Dimael. Lelaki itu tidak menjawab dan tidak mengelak. Penyimpangan percakapan ini terlalu jelas hingga menggelitiki dadanya sekaligus membuatnya semakin sesak. Pembicaraan mereka bagaikan dua buah tali yang terbentang bersebelahan; pada satu sudut seolah mereka berada di membicarakan hal yang sama, tapi di perspektif yang lebih tinggi, sebenarnya tujuan mereka berbeda dan tidak saling bertemu.

Infinitesimal StringsWhere stories live. Discover now