18.

727 113 12
                                    


Minggu ujian akhirnya tiba.

Elsa menggantungkan tasnya di bahu begitu turun dari SUV hitamnya dan berjalan ringan memasuki area sekolah. Beberapa siswa yang berpapasan dengannya menyapa dengan keramahan dan sopan santun yang berjarak, tapi cukup disukainya. Kemudian, secara kebetulan (atau tidak), orang yang paling tidak ingin dilihatnya juga memasuki sekolah dari gerbang yang berbeda.

Lidah Elsa berdecak sebal saat mata mereka bertemu dan Asha, gadis itu, menampilkan ekspresi takut yang pretentious.

Gila, konsistensinya mempertahankan image sebagai gadis penerima beasiswa yang tertindas selama lebih dari 2 tahun itu harus diacungi jempol.

Kini hampir semua siswa menganggap Elsa adalah ratu penguasa sekolah yang membenci Asha dan akan mencari kesempatan untuk menyiksa Asha. Well, setidaknya satu hal dari rumor itu yang benar; dia memang membenci Asha. Sayangnya Elsa tidak memiliki waktu untuk menindas gadis menyebalkan itu.

Dirinya memegang terlalu banyak tanggung jawab saat ini, dan kedua pangeran selalu menjadi tameng yang membatasi Elsa untuk bisa mencekoki Asha dengan sedikit pelajaran tata krama. Hasilnya adalah gadis menyedihkan bernama Avonde Beatrice itu.

Elsa mendengus, membuang muka dan berjalan lurus dengan ekspresi masam. Hari ini akan berjalan dengan menyebalkan seperti biasa.

Yang tidak diduganya adalah, beberapa hal aneh terjadi hari itu. Salah satunya adalah ketika Dimael menemuinya di depan pintu kelasnya setelah ujian berakhir, dengan senyuman lembutnya yang khas.

Perlu bertahun-tahun bagi Elsa untuk membiasakan diri dengan senyuman dengan efek kejut jantung itu. Bahkan kini, meskipun Elsa sudah tahu kalau 99% senyuman Dimael adalah sesuatu tanpa makna, dia tetap merasakan lejitan kecil dalam dadanya.

Ah, anak ini terlahir sebagai perayu profesional, pikirnya.

"Hai, Els. Apa kau ada waktu sebentar?"

"Bahkan jika aku sedang terburu-buru, kau akan memaksaku untuk meluangkan waktu, kan? Ayo." Elsa mengabaikan suara bising yang menjadi latar familiar setiap kali salah satu atau kedua pangeran muncul.

Mereka berjalan menuju pintu darurat, menuruni tangganya dan berhenti di salah satu undakan lebar. Elsa bersandar pada dinding kaca tebal di belakangnya sambil melipat tangannya.

"Katakan."

Dimael menatap wajah Elsa, terkesan karena kenalan lamanya itu masih bersikap sama seperti dulu. Ekspresinya perlahan berubah menjadi lebih hangat.

"Aku ingin meminta tolong kepadamu." Dimael bersandar dengan hati-hati pada dinding beton dibelakangnya, berniat mendinginkan rasa ngilu di punggungnya. "Apakah kau bisa memberikan kamarmu kepada Liana untuk waktu lebih lama?"

Alis Elsa terangkat seketika.

Ohoho.

"Bukankah kamarnya sudah selesai diperbaiki?" pancingnya.

Dimael tidak kehilangan ketenangannya dan tersenyum manipulatif.

"Kurasa ruangan itu tidak cocok untuk ditinggali seorang siswa. Dengan sistem perpipaan yang berkumpul di situ, potensi kecelakaan yang mungkin terulang cukup besar...."

Elsa mengabaikan ocehan teknis Dimael yang tidak menarik, dan fokus pada anomali yang terjadi kepada dua pangeran.

Pagi itu, ketika Elsa berniat mendatangi kamarnya, Caprio juga mencegatnya dan meminta hal yang kurang lebih sama.

Tentu saja dia tahu kalau kekhawatiran mereka cukup beralasan dan kenyataan bahwa Liana lumayan dekat dengan keduanya membuat perhatian mereka kepada Liana menjadi bisa dipahami. Tapi Elsa tidak mengira kalau secara bersamaan, baik Dimael maupun Caprio mau merepotkan diri untuk meminta hal semacam itu secara terang-terangan kepada Elsa.

Infinitesimal StringsWhere stories live. Discover now