satu

90 23 7
                                    

"Na"panggil Rian sembari berkosentrasi pada laju mobilnya.

Entah berapa kali Rian memanggil namanya, kalau pun itu sampai seratus ribu kali Rena tetap tak berniat menoleh apalagi menyahut.

Kini sorot kedua manik hitamnya masih terlalu nyaman melihat sekeliling pejalan kaki di luar dari kaca mobil disampingnya.

mobil Rian berhenti ketika lampu penyebrangan berganti merah. "Jangan kelamaan ngambeknya nanti dosa loh,"godannya.

"Iya.... gue udah tau!"balas
Rena ketus.

Rian tertawa kecil. Aksen bicara gadis disampingnya telah memancarkan sinyal kemarahan yang sebentar lagi akan meledak.

"Ya udah gue minta maaf."ujar Rian menyadari kode dari rena dan melajukan mobilnya, lampu penyebrangan telah berganti warna hijau.

Rena tertoleh malas. "Gak ada ya, kata selain minta sama maaf yang dijadiin satu,"desisnya.

"Emang harus bilang apa lagi, selain itu,"balas Rian.

"Yang lainnya lah"desis Rena,"Terusin aja lagi tuh gue dijadiin bahan eksperimen! Cuman mau berangkat sama temen aja gak boleh. Padahal temen doang bukan doi apalagi gebetan,"lanjut Rena menyindir.

"Lo masih kecil, belajar yang bener. Baru aja mau masuk SMA udah ngelantur kemana-mana."Rian menoleh sebentar ke Rena. "Ini juga baru hari pertama lo masuk,emang gue gak boleh nganterin lo, sekalian gue juga mau____"

"Katanya gue di suruh mandiri,"Sela Rena,ketus.

"Mandi sendiri,"balas Rian enteng.

Rena memutar bola matanya, jengah."Gue cuma mau berangkat sama temen doang, kenapa nggak di bolehin! kebanyakan eksperimen!"desis Rena. Ia benar-benar kesal.

Tangan kiri Rian menarik salah satu rambut Rena yang di ikat menjadi dua. "Gak akan di ulangi lagi deh. Udah jangan ngambek,"hiburannya.

"Sakit nih rambut gue lo tarik, lepasin!!!"protes Rena,melirik tajam pada Rian. Tubuhnya tertarik ke arah Rian.

"Gak. Sebelum dimaafin"ancam Rian.

"Tuh'kan jadi eksperimen lagi,udah buruan lepasin..."rengek Rena.

Rian tertawa kecil."Udah nih." Tangannya melepas dari rambut Rena.

"Bedain dong mana kelinci eksperimen sama adik sendiri, dikirain sini mau apa!? Di jadiin bahan eksperimen." Tangan Rena mengusap kepalanya tepat di ujung ikatan rambut yang ditarik Rian.

"Makanya dimaafin dulu. Baru itu lo bisa bebas,"pinta Rian. "Buat diampuni aja susah,"gumamnya.

"Ada syaratnya kalau mau diampuni." Rena tersenyum licik.

"Apa?"kedua alis tebal Rian tertaut.

"Kak Ian."Rena menunjuk Rian. "Harus ngebolehin gue berangkat sekolah sama Sasa dan main bareng sama Sasa, cuman itu aja. Dia itu cewek bukan cowok, apalagi dia juga temen gue dulu waktu SMP."

"Gak ada yang lain kek Na,"tawar Rian. Ragu akan keputusannya.

Rena bersedaku. "Enggak. Bukannya dulu kak Ian juga udah tau Sasa?" tunkasnya tidak ingin bertele-tele. "Gimana iya apa nggak, kalau enggak, puasa ngomong sama kak Ian selama seminggu!"ancamannya tanpa ragu.

"Terus buka sama sahurnya,mau sama apa?"tanya Rian, tersenyum mengejek.

Untuk saat ini Rena mencak-mencak beribu kesal karena jawaban Rian
Yang sangat menyebalkan, apalagi ekspresi wajahnya membuat Rena serasa ingin mencakarnya.

Untung lo Abang gue, kalau bukan udah gue giling terus dicetak habis itu gue masak terus gue kasih ke jelly kucingnya pak RT, gerutu Rena dalam hati.

FragileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang