Disini gue mau tuangin kisah fiksi diantara gadis kota dan pemuda sederhana...
"Ian ... Ian ...," teriak Laras terbangun dari tidurnya.Badannya panas, matanya perih, dan tubuhnya keringat dingin. Teringat akan mimpi buruknya tentang Brian. Laras sangat menyayangi Brian. Pernah sesekali Laras mengajak Brian untuk pergi liburan di tengah padatnya jadwal pelajaran mereka.
Brian sejak SMP sering ikut temannya mencari uang. Sesekali Brian ikut naksi dengan kakak angkatnya.
Flashback
"Kak, dimana? Aku udah di jalan barusan aja."
"Kakak ... Kakak udah mau kesana. Tunggu di halte, ian. Ni masih ngantri penumpang," saut pemuda di ponsel yang jauh disana.
Sekian lama menunggu, akhirnya angkot yang di pakai Kiki pun melintas. Brian melambaikan tangan.
Tepp ....
Brian menutup pintu angkot dan langsung mengomel. Iya, Brian memang sejak SMP terkenal dengan gaya Slengean. Tak heran sangat minim wanita suka padanya. Meski wajah yang cukup tampan, Brian tak begitu membanggakan wajahnya.
"Ian, bawa aja ya. Kakak mau pulang dulu, mau makan. Nanti kalau sampai sore kakak gak telpon, mobilnya bawa aja pulang," ucap Kiki.
"Iya, kak. Nanti Ian bawa pulang."
"Dan, iya. Ian, kalo nanti uangnya ada yang lebih gak usah setor, ya. Ian ambil aja. Hitung-hitung nambahin uang jajan."
Brian tak dapat menyembunyikan rasa syukurnya. Telah dipertemukan dengan seseorang yang sangat baik kepadanya.
Brian bukan tipe laki-laki yang mudah peka. Brian tak menghiraukan kode yang di berikan oleh wanita di sekitarnya. Begitu pun, adik kelas yang banyak mencoba mendekatinya.
Pergi pagi sekali, pulang paling malam. Rutinitas sehari-harinya. Brian tak pernah mengeluh atas apa yang iya kerjakan.
🌿🌿🌿🌿
Terlahir dari keluarga sederhana tak membuat Brian patah arang. Meski teman-teman di sekitarnya jauh lebih berbobot darinya.
"Ma ... Mama ... Ian belum mandi. Pinjemin baju papa," pintaku merengek melihat laki-lakiku seperti kaku menemaniku.
"Ian, bajunya ukuran berapa?"
"XL ma."
"Ian, mandi dulu ya. Biar mama siapin dulu baju ian."
"Ehm ... Baik ma."
Akhirnya, dirumahku ada sosok laki-laki yang aku cintai selalu menemaniku. Meski pun ini tidak baik tetapi entah mengapa aku tak ingin dia pulang.
Setelah mandi dan memakai baju darj mama, Ian bergegas menyuapiku yang begitu manjanya.
"Sayang ... aku gak mau makan."
"Ehh ... Ntar kamu sakit."
"Kan udah sakit. Gimana sih?"
"Astaga, iya iya."
Aku tak tahu kalau laku-laki ini begitu sangat perhatian. Aku beruntung memiliki dia meski tak seutuhnya. Kasih sayangnya begitu hangat mengalahkan api neraka. Dinginnya begitu sejuk seperti menyerupai antartika atau kutub utara.
Meski dia pria aneh seperti yang Bila bilang, sahabatku. Aku tetap mencintai pria ini. Laki-laki yang sedangg bersamaku. Duduk di hadapanku. Wajahnya yang begitu manis membuatku seketika Diabetes.
Dia digilai para wanita. Namun, Brian tak sadar. Karena setau ku, Brian tipe cowok yang gak gampangan. Meski kata temanku, saat dia dekat dengan wanita dan memberikan perhatian. Itu hanya sebatas perhatian saja tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan.
Tapi semoga, Pacarku ini benar-benar melibatkan perasaan. Sakit pastinya kalau tahu cuma perhatian belaka yang dia kasih.
🌿🌿🌿
"Ian, aku boleh peluk kamu sambil tidur?"
"Boleh, kok. Sampe kapan pun kamu butuh tinggal ambil, tinggal kamu lakuin ke aku."
"Bisa gak, perhatiannya kasih sayangnya jangan kelewatan? Aku terharu tau."
"Ouuuh, peluk ya sini."
Dia laki-laki dingin. Tetapi sangat amat hangat ketika bersamaku. Dia memberikan apa yang aku butuhkan. Sosok kakak, sahabat, teman, sekali pun aku merasa dia suamiku.
Kami tertidur entah dalam jangka waktu berapa jam. Sampai matahari terbit kembali, aku tetap di dekap tubuh Brian.
🌿🌿🌿
"Laras ... Kalian masih tidur?"
Suara itu, itu suara Mama dari lantai bawah. Sedang, Aku masih di dekap Brian. Laki-laki ini tak mau melepaskan pelukannya. Sejenak Aku perlahan melepaskan pelukan Brian. Menjinjit meninggalkannya di kamar.
Nampak dari wajah mereka berdua melihatku sangat aneh.
"Laras, mana Brian?"
"Anu ma, Brian susah dibangunin."
"Kalian semalam ngapain? Nonton lagi?"
"Ehmm ... Iya pa."
"Itu TV sampai mau meledak, Laras. Bisa kebakaran loh."
"Ya, maaf Ma, Pa."
"Bangunin Brian ajak makan kesini."
Begitulah orang tuaku. Merek selalu saja menasehatiku. Untungnya, mereka percaya padaku dan Brian. Andai kami menikah lebih awal, mungkin Papa beri sebagian hartanya pada Brian.
****