Hanya Dengan Begitu Aku Akan Jadi Nyata

121 22 2
                                    

"Jadi apa dia tampan?"

"Tidak tahu. Bisa jadi."

"Seksi? Hahaha."

"Tidak tahu juga. Bisa jadi," jawabku seadanya, ketika kamu lagi-lagi mempertanyakan dia yang membuatmu penasaran.

Bagimu keberadaannya sama kosongnya seperti anggapan orang lain. Kamu menjadi salah satu dari banyak orang yang tidak bisa mempercayaiku, meski lebih istimewa. Sedikit.

"Jadi dia cuma hadir lewat hawa udara yang berbeda dan kamu jatuh cinta sebegitunya? Terlihat, tapi kabur. Terdengar, tapi dalam gumam. Bisa menyentuh, meski tak bisa disentuh. Begitu?"

Aku merasa dedikasimu menjadi volunteer di komunitas kepenulisan itu tak ada gunanya. Meski sajak tulisan untuk karya fotomu indah, penggambaran untuk dia terasa sampah. Aku merasa direndahkan ketika jatuh cinta digunakan untuk perasaan halusku pada hawanya.

"Kamu tersinggung." Kalimat itu bukan lagi pertanyaan, namun pernyataan. Pada detik ini aku sedikit mengapresiasi kepekaanmu atas reaksiku.

"Maaf," tambahmu lagi tanpa menunggu konfirmasi dariku.

Aku tidak ingin marah padamu, sama sepertiku menanggapi orang lainnya. Tidak ada gunanya. Percaya atau tidak, dia juga sudah tidak ada lagi.

Remang lilin di ambang jendela berkebit bersamaan dengan gerak samar rimbun alamanda yang jatuh menjalari ujung genteng. Bunga putih itu bergoyang sesaat, mengantar semilir sama menjahili ujung api lilin yang nyaris padam. Harum lilin menyela jeda antara kedua mataku dan permukaan kanvas di hadapanku. Sesaat kemudian mendung tipis membuat siang lebih redup. Sama redupnya dengan suaramu di sebelahku.

Kamu berdiri dari bangku kayu yang sebelumnya kau duduki. Dari suara langkah yang memantul-mantul di dinding studio yang hanya diplester semen, aku tahu kau sedang melakukan rutinitasmu ketika bosan. Melangkah tanpa tujuan ke setiap sisi ruang, mengamati lukisan yang terpajang di dinding meski kau sudah hapal, dan menghitung jumlah lukisan setengah jadi yang terjajar di lantai.

Ujung kakimu pasti tak tahan untuk menendang tumpukan kaleng cat yang berada di sudut ruang. Kamu pernah mengakui obsesi itu di suatu malam padaku. Sebagai usaha untuk mengalihkan fokusku pada lukisan kepadamu, katamu. Tapi tidak pernah kamu lakukan karena tahu aku hanya akan memintamu mengepel tanpa menoleh.

"Sudah lebih dari setahun aku bersamamu tapi kamu belum juga melupakan dia."

"Aku tidak pernah berusaha melupakan."

"Lalu bagaimana denganku?"

"Memang kamu kenapa?"

"Kamu tidak pernah melihatku ada."

Aku mendongak ketika sadar kamu telah berada di sisiku. Nyaris menumpukan lenganmu pada sudut kanvas yang masih basah. Tatapanku di sana mencegahmu melakukan itu, meski saat kulihat wajahmu, kudapati nafsu untuk menjejalkan tanganmu ke paduan cat basah itu sekalian saja.

"Aku lihat kamu," jawabku tenang, sambil memperhatikanmu dari wajah, tubuh, kaki, hingga wajahmu lagi. "Dan kamu ada."

"Bukan begitu ...."

"Kamu pernah bilang, 'Kau harus percaya padaku. Hanya dengan begitu aku akan jadi nyata,' dan aku melakukannya. Aku percaya kamu ada, dan kamu nyata. Ada di sini, menemaniku."

"Aku tahu," keluhmu tak sabar.

Aku mengangguk. Merasa penjelasanku cukup. Saat kuasku terangkat lagi, keluhanmu berlanjut.

"Tapi bukan begitu!"

Tarikan napas panjang yang membuat dadamu mengembang membuatku sadar bahwa kemarahanmu hari ini bukan main-main.

Aku tahu aku membosankan. Menghabiskan waktuku di rumah, di kamar sempit dengan jendela kayu terhalang rambatan bunga alamanda. Melukis kanvas demi kanvas dengan warna yang bahkan semakin hari semakin tak kuimani ceria warnanya. Semuanya kelabu, kecuali aroma lilin yang khusus kuhadirkan untuk mengenang keberadaannya. Yang hadir bersama angin, lalu hilang ketika arah berubah, lantas samar ketika hujan mendekap udara.

Aku tahu kamu jemu. Dan mulai merasa pertemuan kita sebagai lelucon tanpa tujuan.

Kamu tidak begitu akrab dengan kata-kata, aku rasa begitu. Hari itu kamu datang karena merasa berhutang dengan teman-teman penulismu. Kameramu butuh kata-kata indah yang berbeda, dan mereka mengapresiasi karyamu dengan luar biasa. Tujuan kedatanganku hari itu juga sama memalukannya denganmu. Aku ingin melukis untuk cerita orang lain setelah jengah dengan kisah membosankanku.

Tapi siapa yang sangka, selepas hari itu, lensa kameramu begitu karib dengan permukaan kanvasku. Fotomu bercerita tentang lukisanku. Goresan warnaku bercerita tentang kisah kita, meski tak pernah benar-benar kuungkapkan padamu. Aku terlanjur percaya, kamu akan paham tanpa perlu aku bicara.

Sialnya, hari ini, kepercayaan itu lenyap. Tepat ketika kisah yang kusisipkan lewat setiap goresan kuas kau hancurkan dengan sapuan marah jari-jarimu di wajah kanvasku yang masih basah.

"Apa yang kamu—"

Jangan marah.

Dengan napas tertahan, aku hanya bisa mendongak, mempertanyakan aksinya atas pekerjaanku yang jadi berantakan.

"Yang kamu cintai itu hantu!"

Itu bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat itu. Tapi mendengarnya darimu rasanya seperti menjadi jiwa kanvas yang berada di hadapanku.

Rasanya seperti menanti untuk menjadi lengkap, namun leleh di tengah jalan.

Hancur sebelum jadi, meski tak ada retak, tak ada rusak, tak ada patahan. Hanya warna-warna yang mendadak menyatu dan mengabur, menjadi satu dalam paduan warna kusam yang tak bisa dibedakan.

"Dia tidak ada!"

"Bagimu begitu ... Aku tahu ...." 

Mataku lekat menatap noda cat yang memenuhi telapak tangan kirimu. Andai benar aku hidup di setiap karyaku, sisa dari diriku yang nyaris lengkap kini berada di dalam genggamanmu. Semestinya itu menyenangkan, tapi ini tidak seperti itu.

"Aku sudah dengar itu berkali-kali. Dari orang yang banyak sekali. Bahkan dari orang-orang yang mengapresiasi karyaku."

Aku meraih tanganmu. Meraba basah cat di telapak tanganmu dan tersenyum.

"Kamu bilang aku harus percaya padamu supaya kamu menjadi nyata. Aku juga melakukannya padanya ... Aku mempercayainya, maka bagiku dia juga nyata ... Sama sepertimu ... Kalian berdua, bagiku kalian sama-sama ada."

Sapuan Kuas di Sela JarimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang