Lima Indera

87 20 0
                                    

Hari dimana jemarimu penuh dengan sapuan cat untuk pertama kalinya, kamu sudah memintaku untuk percaya padamu. Saat itu pula keberanian bodohku menurutimu.

Aku percaya padamu, dan kamu benar-benar menjadi nyata.

Rasanya aneh bisa melihatmu ada di hadapanku. Manusia yang bisa kudengar suaranya, yang bisa kulukis permukaan hangat kulitnya. Yang penuh dengan ketidakpahaman, yang memaksaku harus bicara untuk menjelaskan karsaku. Yang mengharuskanku menjelaskan banyak hal tentangku, yang kukira tak butuh untuk diceritakan.

Kamu manusia yang penuh ketidaktahuan. Dan aku merasa baru.

Satu malam itu, kamu menunjukkan padaku perbedaanmu dengannya.

"Sesuatu itu bisa disebut nyata kalau sudah melewati lima indera, sayang," begitu godamu, berlagak menguliahiku.

Aku hanya bisa tertawa ketika kamu mulai menjelaskan apa saja lima indera itu, meskipun kamu tahu aku sudah paham.

"Satu, penglihatan. Kamu bisa lihat aku, kan? Dengan matamu? Maksudku ... Aku berada di gelombang cahaya tampak, kan?"

Aku mengangguk. Tertawa kecil.

"Itu artinya kamu sudah menerima yang kedua. Pendengaran. Kamu bisa dengar suaraku."

"Ya. Jernih dan berisik sekali."

Kamu terkekeh. Merasa menang, lalu meraih kedua tanganku untuk menangkup sepasang telingamu.

"Aku juga bisa dengar suaramu. Lembut sekali ... Kamu tidak pernah meninggikan suaramu, ya," bisikmu di sela-sela senyum.

"Yang ketiga ...?"

"Kamu sedang melakukannya."

"Peraba," aku dan kamu menyebutnya bersamaan, lalu tertawa kecil karenanya.

Kedua mata kita bertemu, seolah mengiyakan, suhu hangat yang kita raba di ujung jari kita mendeklarasikan bahwa kita berdua sama-sama nyata.

"Yang keempat ...." Matamu ragu sekilas. Aku tahu poin ini menjadi aspek sensitif di antara kami. Karena kehadirannya paling nyata disini.

"Penciuman ...." katamu pelan.

Ya. Dia begitu nyata di penciumanku. Aku bisa mengenali aroma teh putih dengan dingin sejuk misterius di sela-sela kehadirannya. Kadang harum sedap malam yang ditenggelamkan air dingin menyelip. Kadang seperti tanah berbatu yang basah dengan rontokan bunga kenanga yang layu larut diantaranya.

"Kamu bisa mencium bauku?" tanyamu hati-hati.

Aku menarik napasku lebih panjang beberapa kali sebelum akhirnya kamu mengundangku untuk lebih dekat, "Kemari."

Kamu memelukku. Meraih tubuhku dan mendekapku lekat. Hawa hangat yang semula hanya ada di telapak tanganku, kini menjalar di sekujur tubuhku. Pada batas antara bahu dan leherku, kamu mengulangi pertanyaanmu, "Kamu bisa mencium bauku?"

Aku mengangguk meski terhalang kukuh bahumu, "Bau keringat."

Hembusan hangat yang meluruhkan tenagaku berubah jadi dengusan tawa pendek. " Ya iyalah!"

Napasnya menjalar ke telingaku. Seolah tahu bahwa suara yang lebih lantang bisa membuat telingaku pekak, suaramu meredup. Lebih pelan dari bisikan, seperti hanya gerakan bibir yang bisa kudengar kecapannya.

"Itulah bedanya aku dengannya. Dia pasti tidak berbau seperti ini. Aku yakin kamu tidak pernah mencium bau keringatnya."

Aku kehilangan kemauan untuk membandingkan lagi. Bagiku suara dalam pelukan hangat itu sudah memenangkan momen hidupku saat ini. Aku bahkan menyerah pada penglihatanku sendiri.

Kututup kelopak mataku untuk merekam pesan indera lainnya lebih erat. Kuhirup hawa-hawa bahumu dalam-dalam. Kuulangi berkali-kali hingga aku mabuk dan merasa larut dalam setiap partikel udara di sekelilingku.

Tapi kita belum selesai. Sebuah sapuan lembab yang basah di leherku membuat penglihatanku bangkit. Kejutan disana bahkan membuat suaraku meletup ke langit-langit studio.

"Hey!"

"Astaga suaramu bisa selantang ini? Aku tidak tahu," candamu sambil menarik wajahmu.

Mimik lucu kau tampakkan ketika melihat wajahku yang bingung. Tapi remang di langit-langit bola matamu menunjukkan bahwa kamu tak ingin berhenti membuatku mengerti. Masih ada satu lagi, begitu matamu berkata.

"Yang terakhir ini, aku yakin dia juga tidak pernah melakukannya padamu."

Jeda diantara kita kian nol. Sekilas sebelum rasa yang baru itu mengecup ujung bibirku, aku tahu keberadaannya berada pada definisi nyata yang berbeda denganmu.

Selepas rasa itu menjalar ke setiap sudut bibir, ke ujung lidah, ke setiap pori dan jalar nadi tubuh kita, kita tahu bahwa definisi nyata kita tidak lagi dibedadakan menjadi dua. Melainkan satu.



Sapuan Kuas di Sela JarimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang