Yang Bercinta dengan Peri

95 19 6
                                    

Setahun setelah kematianmu dari kanvasku, sebuah kabar membanggakan datang. Karyamu bersuara di ruang yang lebih lapang dari hatiku yang remang-remang.

Aku datang ke pameran tunggalmu untuk merayakan cerita yang ingin aku kenang. Lantas terdampar pada satu foto berbahaya yang membuatku kaku berdiri beberapa lama.

Di ruang paling benderang, kolase bagian tubuhmu tersusun cantik serupa kesan kenang yang tersisa di benakku tentang kamu. Foto-foto itu adalah kumpulan hasil tanganku melukis di atas kulitmu.

Aku ingat bagaimana warna hijau di sela jari manis dan kelingkingmu itu membuatmu merinding. Juga warna merah yang meleleh dari leher ke tulang selangkamu yang telanjang. Atau biru langit yang samar-samar melenyapkan punggung hidungmu. Setiap foto diri yang kau ambil di ruangku itu menggugah senyum rinduku tanpa ampun.

Senyum haru yang memelihara harap semuku, bahwa kamu di sana juga sama rindunya denganku.

"Selamat siang," sapaan lain menyela antara haru biru pertemuanku dengan kamu di masa lalu.

Seolah sudah menunggu, lelaki itu berdiri di belakangku dalam diam untuk beberapa lama, sebelum akhirnya menyapaku. Setelan kemeja rapi dan senyum ramahnya membuatku mengenali andilnya di gallery ini.

"Selamat siang."

"Anda pelukis di foto ini?"

Bagaimana dia tahu?

"Kalau bukan, Anda tidak akan mengamatinya secermat itu."

Aku tersenyum malu dan mengangguk. Ternyata benar dia sudah mengamatiku sejak lama.

Aku melirik tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Logo gallery yang ada di atas foto dirinya menegaskan posisi resminya di tempat ini.

"Nama saya...."

Aku mengangkat tanganku, menahannya untuk menyebutkan namanya. Tak ada gunanya bagiku, aku sudah membacanya dari tanda pengenalnya.

Tantra. Marketing & Promotions Manager.

Tapi tentu saja bukan itu yang menarik darinya. Hawa lain terasa begitu lekat dengan memori yang tak pernah benar-benar kumiliki.

"Anda tidak sedang mengklaim hak paten untuk ide melukis di atas tubuh, kan, Ibu Sarinah Salim?" candaku.

Seperti yang kuduga, kelopak matanya melebar. Aku tahu bukan karena aku memanggil laki-laki ini dengan sebutan Ibu. Tapi untuk kenyataan bahwa aku mengenali identitasnya yang lebih jauh.

"Anda salah satu pelukis wanita idola saya dari era Orde Baru. Saya menyukai karya Anda dan banyak terinspirasi. Terutama seri Kekasihku, terutama satu yang menggunakan tubuh kekasih Anda sebagai kuasnya."

Dia tertawa. Tapi tak kutemui rona malu atau canggung dari wajahnya.

"Di kehidupan sekarang saya tidak melukis."

"Tapi tetap tidak bisa jauh dari karya seni. Saya rasa mata tajam Anda cukup kompeten untuk jadi kurator saja. Anda memang berdedikasi."

"Hahaha, seperti yang saya duga dari seorang yang bercinta dengan peri. Anda memang istimewa."

Kali ini gantian aku yang terkejut. Tak menyangka ia akan menembakku dengan fakta itu. Untuk seorang yang baru kenal, kami sama-sama melucuti masa lalu masing-masing sebagai salam perkenalan.

"Saya ketahuan...." selorohku menyerah.

"Seorang yang menikahi peri tidak pernah terlihat sama lagi," jelasnya sambil tersenyum. "Tapi tentu Anda datang kemari untuk menemui kekasih fotografer Anda, kan?"

Aku menggeleng, "Bukan. Saya bukan kekasihnya."

"Tapi beliau terus menganggap Anda begitu."

Kali ini tangan Tantra terangkat. Menunjuk karya foto yang bermenit sebelumnya kunikmati dengan khidmat. "Kalau tidak, ini tidak akan dipajang disini."

Aku tersenyum. Hati kecilku yang tak ingin menjadi pemalu ingin sekali mempercayai itu sebagai faktamu.

"Saya cuma mau tahu kabar beliau. Sudah lama tidak melihat karyanya secara langsung."

"Beliau baik-baik saja dan masih menunggu Anda menerimanya."

Aku tidak tahu kenapa terus terpaku pada wajah staff itu. Aku tak ingin percaya, karena dengan begitu kamu akan hidup kembali di duniaku. Menjadikanku manusia yang merasa, dan menghidupkanku dalam atmosfer berharap yang ingin kulupakan.

"Apa yang menahan Anda?" Tantra bertanya lagi, dan aku mereka ulang hal-hal yang pernah kupercayai tentangmu.

Apakah aku sebegitu kecewanya denganmu yang sama saja seperti orang lain? Sama seperti mereka yang tak percaya padaku?

"Apa karena peri itu?"

"Bukan...."

"Lantas kenapa Anda menahan diri?"

"Ada satu hal yang belum selesai tentangku dan sosok itu...."

"Bisa saya bantu?"

Sapuan Kuas di Sela JarimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang