"Yang kamu cintai itu hantu! Dia tidak ada!"
"Bagimu begitu ... Aku tahu ...."
Mataku lekat menatap noda cat yang memenuhi telapak tangan kirimu. Andai benar aku hidup di setiap karyaku, sisa dari diriku yang nyaris lengkap kini berada di dalam genggamanmu. Semestinya itu menyenangkan, tapi ini tidak seperti itu.
"Aku sudah dengar itu berkali-kali. Dari orang yang banyak sekali. Bahkan dari orang-orang yang mengapresiasi karyaku."
Aku meraih tanganmu. Meraba basah cat di telapak tanganmu dan tersenyum.
"Kamu bilang aku harus percaya padamu supaya kamu menjadi nyata. Aku juga melakukannya padanya ... Aku mempercayainya, maka bagiku dia juga nyata ... Sama sepertimu ... Kalian berdua, bagiku kalian sama-sama ada."
Kamu berusaha menarik tanganmu dari genggamanku. Tapi sebagian dari diriku yang ada dalam genggamanmu tak ingin kuserahkan jika kamu hanya akan menghapusnya begitu saja setelah ini. Kamu telah memintanya mulai dari cara yang baik-baik dahulu, hingga dengan cara seperti ini, saat ini.
"Aku sadar, aku tidak bisa melihatnya, mendengarnya, menyentuhnya, dan merasakannya sama seperti aku mengalamimu. Tapi dia juga nyata dengan caranya sendiri. Kelima inderaku menerima kehadirannya dalam deskripsi yang berbeda, tapi tetap ada."
Ketika aku mendongak, kembang kempis dadamu mencoba menahan marah membuatku tertawa bodoh. Jika aku berada di posisimu, aku juga pasti akan menyebut diriku gila.
Iya, aku gila. Dan mengejutkannya, aku berbangga untuk itu. Meski sudah punya kamu di sisiku.
Sampai pada detik ini, aku tidak tahu lagi harus menjelaskan apa. Kalaupun kamu meneruskan marah dan kecewamu pada keputusan untuk pergi, mungkin aku juga tak akan bisa apa-apa. Meratap pasti, tapi memintamu menghabiskan waktu untuk orang yang tak bisa menyudahi kegilaanya sendiri adalah hal kejam. Sama seperti kutukan yang membuat hidupmu tak kemana-mana.
"Kamu tidak percaya padaku ... Sama seperti orang lain. Meski begitu, kamu istimewa. Kamu membuatku mengerti bedanya. Kamu nyaris berhasil membuatku sadar kalau aku gila. Terima kasih."
Aku melepaskan genggaman tangannya. Sesuatu yang ingin pergi, jika ditahan tak akan sama artinya lagi.
Aku pernah melepaskan dia, dan kehilangannya masih terasa hingga kini. Namun aku baik-baik saja, bahkan bisa menemukan perasaan aneh ini lagi denganmu.
Tapi aku tidak tahu bagaimana rasanya kalau kehilanganmu. Aku tidak ingin tahu. Tapi tetap tak bisa mencegah itu terjadi padaku.
"Kamu boleh pergi," putusku akhirnya. Kini sisa hangat dari telapak tanganmu hanya menjadi sisa cat kering di jari tanganku.
"Meski kamu tahu aku mencintai kamu sama seperti kamu mencintaiku, kamu boleh pergi."
Ragu menjadi mendung di bayang kedua matamu. Sisa marah tadi digusur oleh rasa kecewa dan tak percaya bahwa putusan itu bisa keluar dari mulutku.
"Meski kuberitahu kamu, aku sudah tidak mencintainya lagi seperti dulu, tapi mencintaimu, kamu boleh pergi."
Tanganmu mengepal. Serpihan cat jatuh dari sisi-sisi pinggir yang lebih dulu kering di genggamanmu. Sama seperti sebagian dari diriku yang menjadi tua oleh detik yang lewat di tanganmu. Menjadi kenangan yang bisa saja kau buang atau cuci bersih setelah ini.
"Meski kamu sudah kuberitahu ... bahwa aku tidak bisa menghilangkan begitu saja apa yang aku percaya ... baik itu dia, apapun sejenisnya yang pernah kutemui, dan juga kamu ... kamu boleh pergi."
Aku berdiri. Melihatmu melangkah pergi lebih dulu sepertinya berlebihan untuk hatiku. Untuk kepercayaan dan harapanku padamu yang mulai luntur.
"Meski kelak, setelah kamu pergi, dan kamu akan tahu bahwa aku sudah memutuskan: aku percaya padamu, dan dengan begitu kamu menjadi nyata, seperti permintaanmu, tapi kamu membuatnya tidak ada artinya lagi, kamu boleh tetap pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sapuan Kuas di Sela Jarimu
Romance"Kau harus percaya padaku. Hanya dengan begitu aku akan jadi nyata," begitu katamu, entah ditujukan pada siapa. Namun, yang bisa kuingat, aku malah memikirkan sosok lain. Sosok yang hanya aku saja yang tahu dia nyata. Dan ketika dia hilang mencair d...