[...]
Nyatanya pagi sudah menyapa, di ruangan itu seenggok meja makan lengkap dengan kursi duduk—tampak berpenghuni. Tak ada suara yang keluar—sekedar berbincang sebagai teman sarapan di pagi hari ini.
Sunyi nyatanya masih setia menyelimuti, beruntung suara merdu seekor burung kecil yang bertengger di ranting pohon-sedikit menghangatkan suasana.
Di tempat duduknya, Jo sedikit menucuri-curi pandang di balik koran yang ia baca—seakan ingin melontarkan prakata, namun terhalang oleh asa. Dentingan sendok yang bergesekan dengan piring seketika terdengar seiring helaan napas yang keluar.
"Kalian mau kemana emang ... pakai seragam lengkap?" nada yang terlahir dari kata-kata Jo, tak urung membuat mereka yang mendengar mendongakkan kepala dengan raut yang bertanya-tanya.
"Kita sekolah-lah, Yah." Mahesa selalu menjadi orang pertama yang sedikit berani menentang Ayahnya, berbeda dengan Mahen yang memilih diam—membungkam mulutnya jika saja tidak ada yang mengajaknya berbicara.
Dahi Jo mengernyit dalam, tanda lelaki itu sedikit tak menerima jawaban logis sang anak.
"Kamu masih belum sembuh, Dek ... dan Kakak juga belum sembuh total. Intinya kalian berdua belum sembuh dan belum boleh beraktifitas." talak Jo dengan meletakkan koran yang sedari tadi di bacanya—menyambar cangkir kopi dan menyeruputnya pelan.
"Aku udah beberapa hari ngak masuk, aku udah ketinggalan pelajaran ... Mahen bakal masuk." Mahen menolak, Alya meringis.
Kedua bola mata wanita itu pun secara bergantian menatap wajah sang suami dan sang anak-dua orang yang sama pesis memiliki tingkah keras kepala yang luar biasa.
"Nak, bener apa kata Ayah ... gimana kal-
"Mahen bakal tetep sekolah!" tak disadari nadanya bertambah satu oktav membuat Alya dan beberapa orang di sana mendelik sedikit terkejut.
"Bicara yang bagus, Mahen!"
Dan jika sudah seperti ini, suasana tak akan bisa lagi terasa nyaman dan menyenangkan.
"Maaf," ucapnya lirih dengan nada dan raut yang begitu di suguhi oleh rasa penyesalan.
Sedangkan di ujung sana, Mahesa hanya menghela napas berat kala melihat perdebatan ke-keras kepalaan saudaranya dengan sang Ayah yang mungkin tak akan ada habisnya.
Mahesa diam bukan karena ia tak peduli atau bahkan menentang orangtuanya, hanya saja ia terlalu malas jika di pagi se-cerah ini harus mengorbankan perasaan yang nantinya akan berujung sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Napas Ini Habis (END) ✔
Teen Fiction[COMPLETED] [BELUM DI REVISI] "Sesakit itu ya, Hen? Maaf gua gak bisa lakuin apa-apa saat lo kesakitan. Maafin gua, Hen." "Lo cari cewek sana, biar ada yang lo bucinin. Biar lo gak cuma fokus sama gua." Mereka kembar seiras. Saling menyayangi, sal...