1 : Keluarga

9.5K 489 40
                                    

Asia membuka matanya yang terpejam. Lalu menutupnya kembali saat dirasa masih sangat mengantuk. Bahkan ia makin menyamakan tubuhnya di bawah selimut tebal itu.

Arez hanya dapat geleng-geleng kepala. Bukannya membangunkan sang putra, Arez malah ikut berbaring dan kemudian memeluk Asia.

Dan lihatlah, Asia semakin lelap tidurnya, sebab hangat yang Arez ciptakan.

Arez tersenyum memandangi wajah kecil itu. Tak menyangka bayi kecil itu kini telah tubuh dengan baik. Bayi yang kata dokter tak mampu bertahan lama. Nyatanya kini bayi itu telah tumbuh menjadi remaja 14 tahun.

Pria itu mengusap pelan pipi berisi sang putra. Kemudian kembali memeluknya, merapatkan jarak yang sempat terurai.

Di tempat lain. Ke empat saudara itu tersenyum haru. Melihat kedekatan papa dan adik bungsunya, mereka amat bahagia. Satu hal, tak ada sedikitpun rasa iri yang tercipta. Karena mereka sadar, Asia adalah harta paling berharga. Harga yang harus dilindungi sebaik mungkin dan dijaga tawanya. Agar mereka bisa bahagia, sebab bahagia mereka adalah saat melihat ayah dan si bungsu tertawa dan tersenyum.

"Gue seneng Bang liat papa senyum kaya gitu," kata Aska. Hangat. Itulah yang selalu Aska rasa, saat sang ayah tersenyum.

"Makanya lo jangan buat baby Sia nangis," ucap Axelle sembari menjitak sayang dahi Aska.

"Sakit bangsat!" kata Aska ngegas sambil mengusap-usap dahinya.

"Anjir ngomong apa lu?"

"Gini amat punya abang bego," ucap Aska seolah dia tertindas.

"Eh curut, yang bego itu lo," ucap Arkan pada Aska.

"Bangke yang bego tu abang lu," ujar Aska lagi.

"Jadi gue pinter?" tanya Arkan.

"Bangsat lu pada."

"Dikit. Lebihnya ke gue."

Sementara Avire terdiam mengamati. Cowok itu memilih diam dan baru ngomong saat penting saja, menurutnya tak ada guna berdebat seperti itu. Yang ia tahu dialah yang paling jenius di sini.

***

Arez terbangun tepat pukul sembilan. Asia masih tetap di rengkuhannya, bocah itu agaknya hobi sekali tidur.

Arez mencium kening Asia. Lalu mengusap-usap pucuk Asia pelan.

"Uhh Papa," rengeknya karena merasa terganggu. Arez terkekeh, dan terus memainkan pipi bulat itu.

Bukannya bangun, Asia malah menyembunyikan wajahnya di dada bidang Arez, bocah itu menduselkan wajahnya seolah mencari kehangatan. Padahal ya, ini sudah jam sembilan yang artinya matahari telah sedikit tinggi.

"Baby bangun yuk," ucap Arez.

"Uhh ngatuk ...."

"Baby bangun. Apa baby tidak malu dengan matahari?"

"Papa berisik!" ucap Asia ketus. Sementara Arez terkekeh pelan.

"Baby bangun, apa—"

"Stop Papa!" potong Asia kesal. Mata Asia terbuka lebar dengan bibir mengerucut.

Arez tertawa kecil. Kemudian mengecup seluruh wajah Asia. Sebal. Asia mendorong wajah papa dengan tangan kirinya. 

"Papa!"

"Apa?"

"Sia marah sama Papa." Asia bangun dan bersandar di kepala ranjang. Tangannya bersedekap, mata bulatnya menatap sengit Arez, yang itu terlihat begitu menggemaskan.

"Owh oke. Baik kalau seperti itu. Tidak ada ice cream untuk hari ini."

"Papa!" Nyaring suara itu, telinga Arez sampai berkedut. "Tidak mau. Ice cream untuk hari ini harus ada."

"Papa tidak akan mengabulkannya, Baby."

Bibir Asia melengkung ke bawah, matanya pun menatap Arez iba.

"Hiks ... Papa jahat!"

Tangis Asia menggelegar. Arez gelagapan, ayolah ia hanya berniat sedikit menggoda.

"Maaf, Baby."
Tangan Arez berniat mengusap air mata Asia. Namun dengan cepat ditangkis bungsunya. Wajahnya pun turut dipalingkan dari hadapan sang papa.

"Mau ice cream," ucap Asia lirih namun masih terdengar di telinga Arez.

"Iya, boleh. Tapi Sia sarapan dulu, ok?" Asia mengangguk. Arez tersenyum sembari menepuk pelan surai Asia.

***

"Hei bocil, hei bocil, Sia si bocah kecil,"

"Suara Abang jelek, wlekk," ledek Asia.

"Biarin yang penting tampan." Kesombongannya mengalir lancar.

"Sia ngga setuju. Yang paling tampan itu Sia terus papa. Terus abang Arkan, habis itu abang Ele, Abang Vi. Udah abis itu ga ada lagi."

"Terus abang gimana?" tanya Aska dengan tampang cemberut.

"Abang ngga masuk, kan abang jelek," ucap Asia lancar tanpa hambatan.

Aska menganga begitu saja.

"Jadi gemes." Aska mengepalkan tangan, seolah mengambil Asia lalu memasukkan kepalan tangannya ke mulut. Asia terkikik geli.

"Papa! Abang mau makan Sia," teriak Asia sembari berlari menjauh.

Terjadilah kejar-kejaran bak Tom and Jerry.

"Sia bersiaplah," ucap Aska sembari memasang wajah menakut-nakuti.

"Hi hi abang .... Sia ngga mau dimakan."

"Sia bersiaplah, umm ... bocil sepertinya sangat empuk dan lezat," kata Aska seperti orang tak makan setahun.

Sebenarnya mereka hanya kejar-kejaran di ruang keluarga, ya tapi kan ruang keluarga mereka luas jadi bisa sedikit leluasa.

"A- abang capek," kata Asia. Asia terduduk di sofa. Bocah itu nampaknya kesulitan bernapas.

"Napas pelan-pelan," interuksi Aska. Asia menurut.

Aska bernapas lega saat Asia sudah bernapas dengan baik.

"Abang, mau susu," pinta Asia.

"Okey, Abang buatin dulu," kata Aska. Baru saja akan beranjak jemari kecil Asia menarik ujung kaus yang ia kenakan.

"Abang ikut!" Aska menghela napas lalu berjongkok di depan Asia.







Keluargaku tidak sempurna, tapi aku bahagia di dalamnya.



Hanya cerita pengisi liburan yang entah kapan berakhir.

Terimakasih sudah menyempatkan membaca.

Butuh saran untuk kelanjutan cerita. Mohon pembaca sekiranya berkenan memberikan sedikit harapan untuk cerita ini. Saran akan sangat berharga untuk saya.


~update setiap 4 hari sekali~




Kursi Rotan, 7 April 2020

Alia Wasti

Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang