2 : Papa

5.8K 424 16
                                    

"Sia, papa ke kantor dulu. Sia jangan nakal, ok?" ucap Arez sembari menepuk pelan pucuk putra bungsunya.

"Ok, Papa," jawab Asia.

"Sia ngga ingin ikut kah?" tanya Arez sebab Asia kadang ikut dengannya.

"Engga." Mata bulat itu menatapnya polos.

"Hmm yaudah, Sia baik-baik, Abang bentar lagi pulang. Papa pergi dulu." Ucapan Arez sebelum mendaratkan kecupan di dahi dan kedua pipi gembil Asia.


***

"Jaga Asia dengan baik. Jangan biarkan sedikitpun dia terluka, atau kalian menjadi taruhannya," ujar Arez dengan nada mutlak tak terbantah.

"Baik Tuan," ucap salah seorang lelaki berpakaian hitam.

Arez sedikit tenang, meninggalkan Asia. Walaupun puluhan bodyguard telah ia pekerjakan, ia tak akan pernah tenang jika Asia tak berada di jangkauannya.

Arez jarang keluar rumah jika tak ada urusan yang benar-benar penting. Ia lebih memilih mengerjakan pekerjaannya di ruang kerjanya di rumah. Alasan tak lain tak bukan sebab Asia. Bocah itu selalu berlari-lari di pikirannya.


***

Asia kini tengah bersantai. Ya beginilah hidupnya, terkesan monoton. Tapi Asia suka. Ada papa yang menyayanginya, ada abang yang menyayanginya. Pokoknya Asia suka.

Walaupun tak ada mama. Asia gapapa kok, kan kata papa, "Sia jangan sedih, mama kan bahagia di sana. Jadi Asia juga harus bahagia, biar mama ngga sedih."

Mengenai mama, Asia rindu sosok ibunya itu. Dia belum pernah bertemu dengannya. Melihat fotonya pun belum pernah. Asia ngga tahu juga, papa ngga pernah kasih lihat foto mama. Asia rindu walau belum pernah berjumpa.

"Abang pulang!" ucap Axelle lantang. Asia sedikit terkejut.

"Bisik ih," kata Asia. Asia mengambil smartphone milikinya yang tadi ia lempar.

"Abang dateng kok malah dicuekin sih," ujar Axelle sedikit kesal sebab Asia lebih memilih melihat handphone dari pada dirinya.

Mendengar itu, Asia langsung menatap abangnya. Menatap sang abang tanpa kedip dan jangan lupakan mata bulatnya yang membesar.

"Kyaaa," teriak Axelle. Sungguh Asia benar-benar mengemaskan dengan wajah seperti itu. Mana di tambah bibir mungil miliknya yang menaut manis. Ah, Axelle jadi ingin memakan adiknya kalau tak ingat dia masih sayang nyawa.

Cup

Axelle mengecup pipi bulat Asia secara brutal. Hingga sang empu mengeram marah. "Abang!"

"Abang jorok!" kata Asia kesal bukan main. Abangnya kan belum mandi, masa cium-cium Asia. Dia kan gamau.

"Abang jorok hiks," katanya lagi yang kini ditambah isak tangis. Asia memang cengeng. Saat tidak mood atau hal yang ia tidak suka dia akan menangis. Maka dari itu keluarganya menjaga anak itu agar tidak menangis, sebab jika sampai menangis terlalu lama akan sangat tidak baik untuk kesehatannya. Tapi ya, mereka kadang lupa, mungkin karena terlalu gemas dengan bocah itu mereka kelepasan. Apalagi Aska, cowok 19 tahun itu selalu saja menggoda si bungsu. Dan dari semua kakak Asia dirinyalah yang paling tidak mau mengalah dengan Asia. Tapi Aska sangat menyayangi Asia kok, walaupun sering bertengkar juga.

Asia berhenti menangis setelah Axelle membujuknya tadi. Yang Axelle tahu selain manja dan cengeng, Asia itu matre. Bujuk saja dengan barang mahal, Asia akan berhenti menangis, ya walaupun tidak selalu sih.

"Abang Aska kok belum pulang?" tanya Asia.

"Bentar lagi, biasanya kan jam lima, Sia." Asia mengangguk.

"Emang kenapa nih?"

"Gapapa, cuma mau ngajak berantem aja," ucap Asia yang kemudian menidurkan kepalanya di paha Axelle.

"Ilih berantem katanya, ntar ada yang kalah dikit nangis. Mana kenceng lagi."

"Iyatuh, abang Aska cengeng banget," ucap Asia tak sadar diri. Axelle hanya tersenyum maklum sembari mengusap-usap pucuk Asia.

Di lain tempat.

Aska terbatuk-batuk. Padahal ia hanya minum saja.

"Pelan-pelan bro," kata Rama.

"Anjir keselek apa we?" monolognya.

***

Malam menyambut. Arez dengan senyumnya meraih gagang pintu, dua bodyguard menyambutnya ramah. Sementara ia hanya tersenyum kecil.

"Bagaimana dengan Asia?" tanyanya. Walaupun ia tahu bungsunya baik-baik saja.

"Tuan muda baik-baik saja, Tuan. Dan kakak-kakaknya pun sudah kembali dengan keadaan baik," jawab Max. Arez mengangguk singkat kemudian berlalu.

Arez berjalan menuju lift yang memang tersedia.

Di lantai tiga. Arez langsung memasuki kamarnya, hal yang pertama ia lakukan adalah mengecek CCTV di kamar si bungsu. Dapat ia lihat, Asia tengah menggambar ditemani Avire. Selain tidur, Asia juga punya hobi menggambar,  ah sejatinya tidak. Asia lebih suka melukis. Namun, karena hari sudah malam Asia tidak diperbolehkan, sebab Asia kalau sudah melukis akan lupa waktu, berujung demam karena begadang.

Avire, anak tengahnya itu juga terlihat sibuk dengan layar laptopnya. Entah apa yang ia lakukan. Arez tersenyum, mengusap layar yang menampilkan dua jagoannya.

Arez beralih ke kamar putranya yang lain. Melakukan hal sama sebelum bergegas membersihkan diri.

***

"Abang Vi, ini cocoknya warna apa?" tanya Asia sembari menunjukkan gambarannya.

"Umm biru." Asia mengangguk-angguk paham.

Beberapa menit kemudian ....

"Abang gambar Asia udah selese. Uwaa bagus, kan?" ucapnya antusias.

Avire sedikit tertegun. Gambar adiknya indah. Tapi ....

'Kenapa biru semua?'







"Sia kan suka biru, jadi semuanya biru deh," ucap Asia.








Aku sayang mereka, Tuhan.


















Hanya cerita pengisi liburan yang entah kapan berakhir.

Terimakasih sudah menyempatkan membaca.

Butuh saran untuk kelanjutan cerita. Mohon pembaca sekiranya berkenan memberikan sedikit harapan untuk cerita ini. Saran akan sangat berharga untuk saya.

~update setiap 4 hari sekali~


Lantai Dingin, 12 April 2020

Alia Wasti








Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang