8 : Bertemu

2.1K 232 8
                                    

"Hi, kau kenapa?" Sia tak menanggapi justru bocah itu menunduk. Arez paham Sia takut dengan orang asing. Mereka sedang menunggu Aska yang sedang membeli minum di kantin rumah sakit.

Cewe yang sedari tadi mengenggam tangan adiknya itu tersenyum lalu menundukkan kepalanya sejenak pada Arez.

"Kamu ko menangis? Apa paman ini berbuat jahat? Katakan!" Bocah tadi nampaknya belum puas. Lihatlah ia malah duduk di samping Arez. Dan dia mencoba melihat wajah Sia yang bersembunyi.

Cewe itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Maaf." Cewe itu nampak tak enak hati, ayolah orang yang di cerca adiknya sepertinya orang penting, terbukti dengan banyaknya bodyguard yang mengawasi mereka.

Lalu menarik pelan tangan sang adik. "Kakak, Nanda belum lihat!" Bocah itu menggeram marah. Namun sayang kakaknya tidak takut dan malah mengusap rambutnya. "Paman itu ayahnya, Adek," jelas cewek itu.

"Benarkah?" Mata bulat itu menatap tanpa takut mata elang Arez. Dan Arez hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.

Bodyguard di sana menengguk ludah kasar. Bahkan ada yang geleng-geleng kepala. Ayolah, orang dewasa saja enggan berbicara dengan majikannya. Terlalu takut salah. Tapi anak kecil ini, bahkan tanpa beban berceloteh, bertanya, dan menatap tepat di mata tajam itu dengan binar polosnya.

"Waa rambutnya halus, tapi halusan punya Nanda." Lagi bocah itu bertindak dengan mengelus rambut Sia.

Sang empu akhirnya menoleh dan didapatinya atensi bocah berpipi gembil, embul dan sepertinya pendek. Lebih pendek darinya, dan Sia berbinar. Semoga itu benar. Karena selama ini ia jadi yang paling kurang tinggi di rumah.

"Hai!" Nanda menggerakkan tangannya. Sia hanya menatap bingung bocah itu.

Sia mendongak ke arah Arez. Papanya tersebut tersenyum tipis. Tangis Sia sudah reda ngomong-ngomong.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Nanda lagi.

Di sampingnya cewek itu—Nada berharap tidak akan ada apa-apa. Ayolah beberapa pria tinggi besar berbadan tegap itu terus mengamati setiap pergerakan Nanda—adiknya. Sementara dia hanya bersama satu bodyguard-nya. Kalau terjadi apa-apa bagaimana?

Sia tidak menjawab. Bocah itu lebih tertarik mengamati tiap inci tubuh makhluk yang mengusiknya.













Nanda mengerucutkan bibir, pertanyaannya tak kunjung dijawab.

"Dokter itu mengambil darahku." Nanda ber-oh ria.

"Itu pasti sakit. Um...." ucap Nanda yang kemudian merogoh sesuatu di kantung baju kodoknya. "Nah, ini buat kamu." Bocah bernama Nanda itu nampak antusias menyodorkan stiker bergambar miliknya. Sia yang disodorkan benda kecil itu, menatap ayahnya lagi. Arez lagi-lagi mengangguk kecil.

"Terimakasih ya," ucap Sia seraya tersenyum manis.

"Asiapp," kata Nanda yang kemudian terkekeh.

"Nama kamu siapa?" Sia kembali menatap papanya. Dan Arez lagi-lagi mengangguk.

"Paman jangan buat dia takut!!!" Nanda berucap, ia menatap garang Arez dengan alis menukik.

"Dek," tegur Nada. Nanda dengan cepat menoleh. Kakaknya mengisyaratkan untuk segera beranjak.

"Kakak, Nanda sedang mengobrol." Nada hanya mampu menghela.

"Siapa? Namanya? Namaku Nanda." ucap Nanda.

Dengan takut Sia menjawab, "Sia."

Nanda mengangguk mengerti. "Salam kenal."

"Oh iya, kenalkan ini kakakku," ucap Nanda yang kemudian memundurkan badannya agar Sia bisa melihat kakaknya yang duduk di sampingnya.

"Namanya Nada," lanjut bocah itu. Nada tersenyum canggung.

"Kak Nada, ayah masih lama ngga ya?" tanya Nanda.

"Sepertinya masih lama dek, kan kita juga baru keluar," jawab gadis itu.

Nanda menoleh lagi, "Sia ayo main!" Dan Nada hanya bisa merutuki mulutnya, tentu dalam hati.

Sia mendongak lagi, tapi papanya kali ini tidak menganggukan kepala. Sia menunduk lagi, Sia sedih. Baru kali ini ada yang mengajaknya bermain selain keluarganya, tapi malah nga di bolehin.

"Paman!" ucap Nanda sedikit ngegas. Arez menghela napas pasrah.

"Boleh bermain, tapi papa ikut." Arez nurut saja, siapa tahu kan Sia nanti senang. Lagipula ini rumah sakit, yakali mau main disini. Ditempatkan Nanda berdecak kagum, suara paman itu ternyata nggak se menyeramkan yang ia bayangkan.

Nanda lantas menarik tangan Sia pelan. Arez berdecak pelan, namun tetap membiarkan Sia beranjak.

Dalam diamnya Sia bersorak senang. Kan benar dia lebih tinggi.


_____

Mereka sekarang di taman rumah sakit, Aska juga sudah menyusul.

Entahlah bermain apa, sedaritadi kedua anak laki-laki itu bermain random, mulai dari melihat ikan di tepian air mancur, mencabut rumput, permainan tangan dan banyak lagi. Aska sampai mengangga melihat mood Sia yang membaik hanya karena mencabut rumput. Biasanya akan butuh banyak rayuan agar Sia paling tidak berhenti menangis.





Nanda membicarakan banyak hal dan disambut antusias Sia. Kedua anak itu saling bertukar cerita mengabaikan banyak pasang manusia disana.

Sekarang Nanda berguling-guling dirumput, Sia takut-takut mencoba dan rasanya ternyata menyenangkan. Sensasi gelinya membuat mereka tertawa lepas.

Sudut bibir Arez terangkat, sungguh dia menyukai momen ini.

Aska sebenarnya ingin ikut-ikutan, tapi malu karena ada seorang gadis disana.

"Dek," panggil gadis itu setelah memasukkan hpnya ke tas.

Kedua bocah itu mengangkat tubuhnya.

"Pulang yuk, ayah sudah jalan ke parkiran."

Nanda bangkit, kemudian membantu Sia untuk bangkit pula.

"Sampai jumpa Kak Sia," ucap Nanda sembari melambaikan tangan.



















...

Ini draf dah lama banget, gatau deh pengen aku update sekarang. Maaf ya kalau nggak nyambung. Dan untuk yang ingin menyumbang ide, dipersilahkan 🤣





Lantai Dingin, 21 September 2020

Author Jelek

Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang