6 : Sebelum Mengerti

3.9K 361 60
                                    

Orang bilang tujuan hidup adalah untuk bahagia. Tapi sejatinya tujuan hidup adalah- apakah kematian?







____

Mama meninggalkan Aska ketika ia berusia tiga. Saat itu dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya bocah kecil yang berharap dengan tangisnya sang ibu ada. Namun nyatanya, sang ibu tak pernah lagi mengulurkan tangan untuk menggendongnya.

Aska memanggilnya mama, hingga waktu bergulir, di usianya yang ke lima. Papa membawa pulang Sia-bayi usia 37 hari. Papa mengatakan mama pergi dan bayi mungil itu adiknya yang selama ini di perut mama.

Aska tidak suka. Kenapa setiap datang orang baru, ada yang pergi?

Dia ingin mama. Dia menyayangi mama.

Aska membenci bayi itu.

Dia ingin adik tapi tidak dengan mengorbankan mama!

Ketika ketiga kakaknya mengerubungi box bayi itu. Rasa marah menghantui, Aska seperti tak di pedulikan lagi. Ingatlah, sebelum bayi datang, ia pusat perhatian. Aska menuruni ranjang.

"Bayi, aku membencimu." Aska menggeram. Kaki kecilnya menghentak. Sampai kamarnya, Aska membanting pintu dengan keras. Maid yang bertugas menjaga pun dibuat terkejut.

Berhari dilalui. Aska semakin membenci si bayi. Si bayi mendapatkan apa yang dulu didapatkannya. Kasih sayang dan waktu orang tercintanya.

Papa lebih sering menghabiskan waktunya bersama bayi. Tak seperti dulu...

Avire teman mainnya, sekarang lebih suka bermain dengan bayi, ketimbang dengannya....

Aska tidak pernah sedekat ini dengan si bayi. Si bayi kini di gendongannya. Kakak tertuanya yang memintanya berfoto, katanya untuk dokumentasi.

"Aska, senyum dong."

Aska tersenyum lima jari dengan kedua tangan yang mengeratkan pelukan. Dia kesal. Dia sudah bilang tidak ingin tapi kakaknya malah memaksa. Tapi pada akhirnya Aska merasa nyaman dengan bayi ini.

Seorang maid dengan cepat mengambil bayi dari pelukan. Maid tersebut dengan sigap membawa bayi ke ruang yang entah apa namanya.

Sedari tadi Axelle mencecar Aska dengan berbagai pertanyaan. Namun Aska hanya menampilkan wajah polos. Sungguh Aska tidak tahu. Dia hanya mempererat pelukan agar bayi tidak jatuh karena ia keasikan bergaya didepan kamera.

Rain-maid tadi lalu memasangkan alat bantu napas di hidung dan mulut bayi mungil itu dibantu beberapa rekannya. Membuka laci dan mengambil satu suntikan yang telah terisi dan kemudian menyuntikkannya di pangkal paha bayi itu.

Bayi masih terdiam, dan itu membuat orang dewasa di sana cemas. Salah seorang menghubungi Arez. Sementara yang lainnya menyiapkan opsi lainnya.

"Abang kenapa bayi tidak menangis?" tanya Aska.

Aska mendekat. Mengusap kepala tanpa rambut itu pelan. "Kau hebat bayi."

Bayi kecil itu menggeliat tak nyaman dan akhirnya menangis. Tak kencang, namun membuat para maid dan Axelle setidaknya sedikit lega.

"Papa!" Aska melompat. Dan dengan sigap Arez mengangkatnya. Raut Arez cemas. Namun sebisa mungkin ia tersenyum pada dua anaknya.

Setelah memastikan si bayi baik-baik saja. Arez membawa Aska ke kamarnya. Terasa cukup lama Aska tak dekat dengannya, putra ke empatnya itu seperti menjauh.

Baru saja akan Arez mengawali pembicaraan. Suara Aska yang sarat tanya mengudara.

"Papa? Kenapa semua orang terlihat khawatir? Kenapa bayi, tadi disuntik? Apa bayi sakit? Apa dia kelelahan? Tapi bayi hanya tidur seharian, Pa." Bibir Aska mengerucut. Sungguh dia tak tahu, banyak pertanyaan berputar dikepalanya. Ini kedua kalinya bayi di kondisi yang sama. Aska mendongak. Menatap Arez yang kini tersenyum padanya.

Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang