Chapter I : Harus Mandi Kembang Tujuh Rupa

89 13 8
                                    

Terkadang dengan mengajar, aku lupa akan sakit dalam dadaku yang begitu meronta, beban dan dunia yang ku kejar. Karena ketika mereka tersenyum, duniaku yang gemerlap menjadi cahaya mentari yang cerah.

Aku mengetuk-ngetuk jariku yang berada di atas meja dan memandang kantong plastik yang ada di depanku, di sampingnya terdapat kertas hasil isian anak-anak mengenai kuis yang aku berikan tadi. Pikiranku berkelana entah kemana, merasakan sakit di pinggang dan bokongku juga masih kesal akibat kelakuan lelaki kurang ajar tadi.

Namun ada yang aneh, aku memang sedang datang bulan tapi mengapa rasanya sangat tidak nyaman di bagian belakangku. Apakah aku tembus? Tapi mana mungkin, ini pasti faktor jatuh dari tangga tadi.

Karena lamunanku, tak kusadari mbak Irma datang keruanganku sembari membawa modelーmakanan khas Palembang yang juga menjadi salah satu kuliner favoritku.

"Ren, makan dulu sini. Laper kan, pasti?"

"Emang Mbak Irma paling keren, tau banget mau gue apaan. Hari ini tuh bener-bener capek padahal baru setengah hari perjalanan," keluhku yang kemudian berdiriーmengambil model dan menatap Mbak Irma yang aneh. Ia menatapku melongo dan panik sembari mencari-cari sesuatu di nakas dekat tempatku duduk tadi.

"Kenapa sih, Mbak?"

"Lo kenapa bisa gak sadar sih, Aren. Itu, tembus. Darahnya keluar banyak banget. Hari pertama gini, serius lo nggak sadar?"

Aku yang tadinya sedang memegang mangkuk model, lantas saja menaruhnya kembali kemudian berkaca di ruangan tersebut. Benar saja, aku tembus banyak sekali! Hal itu membuatku memikirkan, sejak kapan sebenarnya aku tembus seperti ini.

"Nah, ini dia!"

Mbak Irma melempar pembalut padaku dan menyuruhku mengganti rok-ku dengan rok cadangannya yang berada di loker samping kamar mandi.

Aku memutar menghela napasku setelah berganti rokーmenahan malu jika aku sudah tembus saat mengajar anak-anak. Kulempar plastik pakaianku dengan kasar yang membuat wanita berkacamata itu melotot padaku.

"Maaf, mbak. Abisnya malu kalo pas ngajar anak-anak udah tembus. Sial banget. Nggak jadi teladan buat mereka rasanya. Udah telat malah tembus begitu."

"Fix! Kayaknya lo perlu mandi kembang tujuh rupa abis ini. Omong-omong soal nembus sih, gue rasa udah tembus pas depan anak-anak deh. Tapi, nggak terlalu keliat karena lo pake warna dark gitu," ujarnya sembari memakan model yang terlihat lezat itu.

"Eh omong-omong Mbak, dapet darimana pembalut tadi? Gue lupa banget bawa hari ini, soalnya."

"Lho itu yang di kantong plastik putih, punya lo kan? Yang ada roti, susu, madu trus roti jepang juga?"

Aku tercengang mendengar ucapan Mbak Irma. Jika ucapannya benar, entah kebetulan atau tidak, buruknya lelaki kurang ajar itu juga tahu kalau aku tembus? Ah, tidak-tidak! Mungkin hanya kebetulan, tapi bagaimana jika aku sudah tembus saat itu? Membayangkannya saja membuatku malu tanpa ampun!

"Kenapa lagi sih, Ren? Grasak-grusuk banget dari tadi."

"Nggak papa, mbak. Gue ke bawah dulu, cari kopi. Nanti ingetin jam setengah dua balik lagi ya, ada ngajar anak kelas 3 SD."

Tanpa menghiraukan perkataan Mbak Irma, langsung saja aku keluar dari ruangan guru dan menghentak-hentakan kesal kakiku saat menuruni tangga. Bukankah, menyalurkan emosi itu baik? Ya, seperti itulah aku. Namun langkahku terhenti sejenak, kulihat anak didik gemasku menduduki tangga dan bermain game kanibalーikan yang saling memakan sesama. Kanibal, bukan?

"Zahra, belum pulang?" tanyaku sembari duduk di sebelah anak manis berkuncir dua yang membawa tas doraemon ini.

"Belum Bunda, masih nunggu Abang."

SembuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang