Part 01

71 4 0
                                    

Tiba Di desa Keumala pukul setengah lima sore, disambut hujan lebat. Terpaksa harus berteduh di salah satu gubuk di  jalan. Sepertinya gubuk petani menjaga kebunnya, karena bila untuk ditempati sehari-hari terlihat tidak layak.

"Mbak!"

"Astaghfirullah, i-iya." Lamunanku membuyar. Aku ternganga menyaksikan pemandangan di depan. Seorang pemuda memakai kaus putih berlengan pendek.

"Mbak," ulangnya.

"Iya, Assalamu'alaikum," ujarku kikuk.

Ia pun menjawab salamku.

Ya Tuhan, apa aku tersesat di kahyangan, sehingga berjumpa dengan pangeran ini?

"Mas, saya izin berteduh, ya?"

"Iya iya, silakan. Cuma saya terkejut saja tiba-tiba ada orang asing di sini," pungkasnya sembari mengulum senyum.

Aku membuang pandang, kembali menatap tetesan air hujan yang mencumbui tanah. Aku kurang yakin ini manusia. Karena ketampanannya menggetarkan hati yang memandang. Lebay.

"Maaf," ujarnya.

Ia mendongak menatap atap bocor yang airnya jatuh mengenai bahuku.

"Mbak tetap basah berteduh di rumah saya," sambungnya.

Kutarik sudut bibir hingga menjadi sebuah senyum. "Ga papa," ujarku.

"Oh ya, nama Mbak siapa?"

Ramah. Ini yang terlintas di benakku. "Azzazira. Panggil saja Zira," jelasku padanya.

Pintu rumahnya tidak tertutup rapat, tampak pemandangan indah di dalam. Ujung bingkai kaligrafi tertangkap oleh mataku. Ini cocok dengan slogan, 'Rumahku Istanaku'.

"Orang sini, bukan?" Masih ia melempar tanya. Ujung jari kelingkingnya menggaruk kening dengan alis yang terukir tebal di sana.

"Bukan, Mas. Oh ya, nama Mas siapa?" Aku balik bertanya.

"Khabab Al-Masri, panggil saja Khabab," titahnya.

Hidung mancung, ditambah pula dengan bibir merah ranum bagai bergincu bak bibirnya perempuan. Meyakinkan pemuda ini bukan perokok. Barusan aku dengar namanya Khabab Al-Misteri, eh, Al-Masri. A good name. Langka. Semacam ketampanan dirinya.

Ini pasti makhluk tersesat di desa Keumala atau memang penduduk di sini tampan semua, ya? Tapi nggak mungkin, toh mas Fattah hancur banget, kagak kebangetan juga sih.

"Jadi tujuan ke desa ini, apa?" tanyanya dengan sopan.

"Ke rumah Pakcik Rahman."

Iya bermanggut-manggut.

kemudian tercipta jeda di antara kami. Terasa kikuk sendiri, sehingga aku putuskan merogoh ponsel dari saku gamis. Menggeser-geser layar benda pipih tersebut, singnalnya hilang-hilang timbul.

Hujan mulai reda, hanya sisa-sisa gerimis.

"Makasih, Mas Khabab, udah ngizinin Zira berteduh," kataku. Ponsel kusimpan kembali ke saku.

"Iya, sama-sama. Kirim salam buat Fattah ya, saya denger sudah balik dari kota dua hari yang lalu, tapi belum berkunjung ke sini."

"Iya iya, Insya Allah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Kupijaki tanah becek yang baru sebentar hujan sudah digenani air. Berjinjit-jinjit hingga menapaki jalan meninggalkan gubuk reot tersebut, yang sebelah kirinya sudah ditopang dengan bambu, mungkin agar tidak bersujud. Jalan di sini masih bertanah batu belum teraspal.

Azzazira's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang