Jarak TU tidaklah jauh dari tempat bertemu dengan Rahman. Hanya belok kanan dan lurus, selama perjalanan, kami tidak bertemu hantu maupun monster.
Sampai di depan pintu TU yang terbuat dari kaca. Kami tidak mendapati siapa pun.
“Kamu yakin, Diba lari ke sini?” Tanya Firman kepada Rahman.
“Iya, aku yakin, nggak salah liat.” Ujar Rahman meyakinkan.
“Kalau begitu, kita cek dulu, mungkin Diba ada di dalam pintu itu.” Ujarku mendorong pintu kaca ini.
Kami pun masuk ke dalam TU, ruangan TU tidaklah terlalu luas, di dalam terdapat lemari yang menjulang tinggi.Di dalamnya tersusun rapi barisan piala yang pernah di raih sekolah ini. Satu meja besar dengan dua kursi untuk guru yang menjaga.
Kursi dan meja tamu, dan sebuah pintu, tempat berkas sekolah di simpan.
“Sedang mencari apa, anak-anak?”
Sontak secara berbarengan, kami menoleh kanan, ternyata itu adalah hantu kebaya merah. Hantu kebaya merah itu melangkah maju, kami pun mundur, menjauh sedikit darinya.
“Hahaha! Seperti permainan saja, kulo maju sampeyan mundur!” Ujar hantu kebaya itu.
Husain dan Rahman yang sedari tadi ketakutan. Langsung berlari ke arah pintu. Namun, sekuat apa pun mereka mendorong, pintu itu tak mau terbuka.
“Kalian tidak bisa kemana-mana, ayo dolanan karo kulo.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Dimana temanku?” Ujarku.
“Siapa?” Balasnya sambil mengetuk-ngetuk dagu.
“NGGAK USAH PURA-PURA TIDAK TAHU.” Ujarku berteriak.
Tiba-tiba selendangnya mengabang-ngabang. Dengan secepat kilat, hantu kebaya merah itu mengarahkan selendangnya ke arahku.Secara spontan, melilit kedua kakiku, kemudian di tariknya aku. Aku terpelanting dengan kerasnya, kemudian di seret ke arahnya. Firman ingin menolongku, tapi di hempas oleh angin yang kuat oleh hantu kebaya merah.
Setelah sampai di hadapannya, dia memegang daguku dan mengangkat kepalaku, bola mataku menatap lurus ke mata hantu kebaya ini, warnanya merah menyala seperti bajunya. Kemudian dia melepaskan diriku.
“Kamu ingin tahu temanmu, dia ada di dalam.” Ujarnya sambil menunjuk ke arah pintu.
Dengan sedikit rasa sakit di punggung, aku berlari ke pintu tempat berkas sekolah di simpan. Mungkin Diba sedang ketakutan di dalam.
“Diba kamu ba...! Ba...! DIBAAA!”
Aku sentak saat membuka pintu, paru-paruku seakan berhenti memompa udara. Dan jantungku berhenti berdetak, melihat Diba tergantung di langit-langit dengan kabel terikat di lehernya.Aku jatuh terlutut, tak percaya, bahwa sahabat terbaik yang aku miliki meninggal dengan cara yang ilegal. Bunuh diri.
Air mataku mengalir deras membasahi pipi, baju, dan lantai TU. Firman, Husain, dan Rahman juga merasa terpukul dengan kejadian ini. Aku menangis sejadi-jadinya, hingga bergema di seluruh ruangan. Firman menghampiriku, berusaha untuk menenangkanku.
“Apakah ini, PERBUATANMU?” ujarku dengan menggeram.
“Aku mung ngajak kalian dolanan di duniaku. Dia bunuh diri karena hasratnya.” Ujar hantu kebaya sambil berkacak pinggang.
“PEMBOHONG.”
Dengan cepat aku menguarkan headphoneku, dan mengarahkannya ke hantu kebaya merah itu.Namun, seketika di tepis oleh selendangnya. Headphoneku terlempar jauh, Firman berlari mengambilnya, namun kakinya di lilit oleh selendang hantu kebaya merah.
Firman terpelanting keras dengan dada terlebih dahulu menyentuh lantai. Firman meringis kesakitan sambil memegang dadanya.
Rahman dan Husain diam terpojok, bingung ingin berbuat apa. Di tengah kebingungan, tiba-tiba terdengar suara, seperti suara bisikan.
“Kamu tenang dulu Selly, aku akan menolongmu.”
“Siapa kamu?” Ujarku dengan nada rendah.
“Aku Snow, kucing peliharaanmu.”
Aku menghela napas “Benarkah! Kamu kok bisa bicara? Kamu dimana?”
“Sudah, sekarang, aku minta kamu untuk tenang, dan konsentrasi.”
Walaupun aku belum yakin, yang aku dengar itu memang kucingku si Snow. Atau bukan. Tapi instingku berkata ikuti saja dia.Aku menghela napas panjang, kemudian menutup mata. Dan aku mulai merasakan energi meresap melalui pori-pori kulitku. Dan tubuhku berasa memiliki energi yang besar.
“Baiklah, sekarang, balaskan dendam dan amarahmu.”
Aku melangkah maju, mendekati hantu kebaya merah itu. Dengan tangan yang mengepal sedari tadi.
“Kau harus membayar ini, aku akan menghajarmu.” Ujarku dengan penuh amarah.
“HAHAHA! DASAR MANUSIA BODOH.” Ujar hantu kebaya itu.
Aku semakin dekat dengannya, saat telah dekat, aku mengayunkan lengan dan menargetkan wajahnya. Plak! Hantu kebaya itu jatuh terpelanting, dia melihatku dengan mata melotot padaku.Seperti tak percaya akan kejadian barusan. Aku bisa menyentuhnya, rupanya bukan hanya hantu kebaya ini saja yang terkejut. Firman, Husain, dan Rahman menatapku, seakan tak percaya pula.
“Selly, matamu seperti kucing dan berwarna biru.” Ujar Firman. Husain dan Rahman mengangguk.
Bukan hanya mataku, kuku jariku seketika memanjang dengan cepat. Saat melihat perubahan tubuhku ini, perutku dihentak oleh selendang hantu kebaya.Aku termundur beberapa langkah, ternyata rasanya tidak terlalu sakit. Kemudian hantu kebaya itu bangkit dengan cara melayang.
“Selly, serang balik!” Ujar Snow
Dengan energi ini, semangatku membara.Aku berlari ke arah hantu kebaya itu, meluncurkan tinjuan dengan keras, tinjuanku tepat mengenai wajahnya. Hantu kebaya merah itu, terhempas jauh, hingga membentur pintu TU.
“Ini tak bisa di biarkan!”
Kemudian hantu kebaya itu bangkit kembali. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang membaca matra, dan tiba-tiba seisi ruangan di penuhi asap hitam yang sama saat bermain jelangkung.Asapnya semakin tebal, hingga aku tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba pijakannya menghilang, kami terjatuh ke bawah. Kami terjatuh di halaman sekolah, semua berusaha untuk berdiri.
“Loh, kita ada di depan gerbang sekolah?” tanya Rahman terheran.
Tiba-tiba dari belakang, tersorot lampu yang menyala terang. Itu adalah mobil polisi, pintu mobilnya terbuka, dan keluar empat polisi dan ibundanya Diba.
“Selly, Rahman, Husain. Di mana Diba?” Tanya bundanya Diba.
“Kami melihat Diba masuk sekolah.” Rahman langsung menyambar.
Polisi pun membuka gembok dengan Lock Pick. Kemudian salah satu polisi menyuruh kami untuk pulang. Aku di tarik oleh Firman, dia mengajakku pulang. Aku diantar oleh mobil Firman, selama di dalam mobil kami tidak saling berbicara hingga sampai di rumah.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Indigo Diary (Sudah Terbit)
HorrorMereka dimana-mana, di rumah, di taman, dan di sekolah. Anugerah pemberian Tuhan ini awalnya menakutkan bagi sebagian orang tapi bagiku biasa saja melihat mereka yang tak kasat mata. Mereka seperti kita hanya saja tak kasat mata. Hidup mereka sepert...