Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah, Aku bercermin, tiba-tiba Snow keluar dari kolong kasur – terlihat dari pantulan di cermin. Aku pun menoleh.
“Snow, tentang kejadian tadi malam, itu betul-betul kamu?”
Snow mengeong, kemudian berjalan menghampiriku, meraba kakiku dengan bulu putihnya yang lembut.“Kok kamu nggak ngomong lagi?” Aku membalasnya dengan mengusap kepalanya.
“Maaf Selly, aku tidak bisa menggunakan bahasa batinku sesuka hati. Karena ada pula orang yang bisa membaca pikiran.” Balas Snow.
Mulutnya diam, namun aku bisa mendengar suara Snow.
“Selly, kamu selesai nak? Ayo sarapan, nanti kamu terlambat loh.” Ujar Ibu.
Aku pun bergegas pergi, meninggalkan Snow sendiri di kamarku. Setelah sarapan, aku pun berangkat ke sekolah, di sepanjang perjalanan benakku tak henti-hentinya membayangkan peristiwa semalam.
Dan juga Snow, apakah dia kucing biasa atau yang lainnya. Aku coba untuk tidak memikirkannya, lebih baik aku fokus melihat lika-liku jalan.
***
Di kelas, para murid dibuat terkejut tentang berita meninggalnya Diba. Ada yang syok, Seperti tak percaya dengan berita ini. Ada yang menangis tersedu-sedu, dan berbagai macam emosional terukir di wajah.
“Siapa yang sudah mengetahuinya?”
Ternyata dalang dari cerita ini adalah Mawar.Kemudian aku teringat, tak heran jika Mawar tahu, Diba bilang kepadaku, bahwa Mawar adalah tetangga sebelahnya. Tapi untuk saja dia tidak menyebut juru kunci di tempat kejadian.
Tak berselang lama, bel berbunyi, para murid kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Bangku sebelah kiri kosong, ya karena itu tempat duduk Diba, ah sungguh aku tak bisa melupakan kejadian malam itu.
Rekaman di kepalaku memutar sosok Diba yang tergantung. Namun yang membuatku terheran adalah, aku belum melihat Firman, apakah dia tidak hadir hari ini?
Tak lama Bu Flora masuk, kami pun memberi salam. Setelah Bu Flora duduk, Firman mengetuk pintu.
“Silahkan masuk, gimana keputusannya?” Tanya Bu Flora.
“Selesai ulangan ini Bu.” Ujar Firman kemudian duduk. Bu Flora hanya mengangguk.
“Hah, apa maksudnya dengan selesai ulangan?” Batinku.
Bu Flora pun menyuruh kami untuk menguarkan buku bahasa Inggris, dan membuka halaman yang telah di tentukan. Dan pelajaran berlangsung hingga bel tanda istirahat berbunyi, Bu Flora pun meninggalkan kelas.
Tak lama kemudian, masuk lima murid tiga cowok dan dua cewek, dua cowok membawa kardus dan satu perwakilan berbicara.
“Assalammu’alaikum dan selamat pagi teman-teman.” Kami serentak menjawab.
“Innalilahi wa innailaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah teman kalian Diba pada kemarin malam. Di sini siswa dipersilahkan menyumbang seikhlasnya.” Ujarnya. Kemudian dua cowok yang membawa kardus, keliling mengitari ruangan kelas.
Aku pun menyumbang dengan nominal yang lumayan.
“Semoga apa yang kalian sumbangkan ini, bermanfaat bagi semua. Terima kasih. Assalamualaikum dan selamat pagi.” Setelah menjawab mereka beranjak ke kelas lain.
Saat aku sedang menikmati bekalku, Firman duduk di bangku depanku sambil membawa Tumbler.
“Selly, Setelah pulangan ini. Kau ikut ngelayat.” Tanyanya. Aku hanya mengangguk sambil mengunyah makanan, Firman pun pergi, hanya itu saja.
Selesai makan, aku meraba-raba isi tas untuk mencari Tumbler, tidak ada. Kurang puas, aku menarik sleting sepanjang jalurnya hingga tasku menganga lebar.
“Ya ampun, aku lupa Tumbler ku.” Gerutuku menepuk dahi.
Dengan berat hati, aku menuju kantin hanya untuk membeli air mineral. Rasanya sangat aneh, keadaan perut kenyang dengan serik di tenggorokan, harus berjalan kaki dengan jarak lumayan jauh.
Sampai di kantin, aku langsung membeli air mineral. Entah kebetulan atau direncanakan, aku bertemu Husain di kantin, dengan secepat kilat aku meninggalkan kantin, aku tak ingin berbicara dengannya, bukan karena benci hanya tak enak saja.
Namun dia berhasil menghalangi langkahku di tengah perjalanan menuju kelas.
“Selly, aku pengen ngomong sama kamu.” Ujar Husain dengan kepala menunduk.
Aku menatap wajahnya sambil berkacak pinggang.
“Maaf ini salahku, aku telah mengajak Diba ...” dengan cepat aku memotong kata-kata Husain.
“Ini bukan salah siapa, Diba mati karena bunuh diri, bulan di bunuh.
Kau tak perlu memikirkannya, lebih baik sekarang kau doakan.”
Pipinya mengalir setetes air mata, sepertinya bukan hanya aku yang merasa kehilangan. Husain pun tersenyum dan mengangguk, kemudian pergi berlawanan arah. Aku melanjutkan perjalanan.
***
Jam pelajaran telah usai, aku siap ngelayat ke rumah Diba. Namun sebelum itu, aku menelepon ibu.
“Halo, Bu. Aku ngelayat ke rumah Diba.”
“Oya, hati-hati ya nak. Cepat pulang ya, hari ini Ibu pulang cepat nih!”
“Iya Bu, secepatnya Selly pulang.”
Pembicaraan via telepon berakhir, aku pun menuju parkiran motor dan menuju rumah Diba. Sampai di rumah Diba ternyata situasi masih ramai, lekasku parkirkan motor dan masuk ke dalam rumah.
Ternyata Diba telah dikebumikan sejak pagi tadi. Bunda Diba memanggilku saat melayani para tamu. Bunda ingin berbicara denganku empat mata, aku pun mengekori Bunda hingga tiba di sebuah kamar, aku pun di perintahkan untuk menunggu di luar.
Tak berselang lama, Bunda keluar dengan membawa sepucuk surat.
“Surat ini di tulis sehari sebelumnya, dia ingin kau membacanya.” Ujar Bunda dengan suara berat kemudian pergi.
Aku pun membacanya sambil duduk di sebuah kursi plastik.
Untuk sahabatku, Selly
Terima kasih telah menjadi dan mau menjadi teman untukku. Aku ingin kau menerima kenyataan ini dengan lapang dada.
Aku memang ingin mengakhiri hidupku karena mungkin aku tak seharusnya ada di dunia ini. Di besarkan sebagai anak adopsi dan tak tahu mengapa orang tua ku, membuang ku.
Aku memang anak yang bodoh, nilaimu tak pernah membuat Bunda bahagia. Ini keputusan yang tepat, bagiku. Mengakhiri hidupku sekarang.
Ku harap kau tak kangen, wkwkwkDari Diba.
Air mata langsung mengalir deras membasahi pipi, ternyata dibalik Diba yang selalu tersenyum, lucu, kocak, dan periang itu hanyalah kostum untuk menutupi penderitaannya. Saat berdiri dan membalikkan badan, Bunda ada di hadapanku, wanita paruh baya itu memelukku dengan erat sambil terisak tangis.
Beberapa hari ini memang bunda sering memarahi Diba. Ini membuat Diba frustasi dan mengakhiri hidupnya, Bunda amat sangat menyesal.
“Bunda yang tabah ya.” ujarku membalas dengan pelukan pula.
Tanpa sadar memoriku bersama Diba, berputar. Persahabatan kita selama satu setengah tahun. Mulai dari saat MOS, dia canggung, tahu bahwa aku indigo, ulang tahun aku hanya dia merayakan, hingga berakhir disini.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Indigo Diary (Sudah Terbit)
HorrorMereka dimana-mana, di rumah, di taman, dan di sekolah. Anugerah pemberian Tuhan ini awalnya menakutkan bagi sebagian orang tapi bagiku biasa saja melihat mereka yang tak kasat mata. Mereka seperti kita hanya saja tak kasat mata. Hidup mereka sepert...