Untuk menyukaimu saja aku harus berpikir keras!
Agatha♪
🌜🌕🌛
Senja kali ini tidak seindah biasanya. Senja kali ini dihiasi awan mendung yang menutupi semburat orange yang apik. Langit seakan mengerti Agatha, hatinya itu juga seperti ditutupi awan-awan pekat yang mengusik perasaannya. Kali ini, Agatha tidak sedih, dan tidak senang. Ia hanya bingung dengan perasaannya.
Dan orang yang bisa membingungkan perasaan Agatha adalah Raga.
Agatha duduk di kursi belajarnya, sambil menatap ke jendela kamarnya yang langsung menampakan jalanan sedang di depan rumahnya itu. Semua orang seakan tengah sibuk, berjalan kesana-kemari. Mungkin hanya dirinya saja yang kini nampak bermalas-malasan sekarang.
Ini semua karena hatinya yang seperti abu-abu, membuatnya serasa enggan melakukan apa pun. Ia seakan terusik dan terganggu karena hal itu, seakan memaksakan Agatha untuk duduk selama tiga puluh menit hanya untuk berpikir saja.
Hatinya seakan berkata, apa yang ia lakukan di hari-hari sebelumnya adalah hal yang sepatutnya tidak ia lakukan, seakan ada yang salah dengan jalan pikiran Agatha beberapa hari ini.
Agatha mengulas senyum tipis, menyadari satu hal baru yang akhir-akhir ini ia pikirkan. Tidak bisa mengelak jika Agatha sebenarnya telah memasuki dunia seseorang.
Seseorang yang berhasil menyita pikiran dan... hatinya mungkin?
Orang itu adalah Raga.
Raga itu primadona, tetapi Raga itu orangnya sangat membaur kepada sesama, peduli juga mengayomi, dan terikat oleh banyak orang, alih-alih seperti sosok famous yang lain, yang mengklaim diri mereka penting dan tidak pantas berteman dengan 'sembarang' orang.
Raga itu tidak seperti Bara yang terlihat apatis, tidak seperti Sean yang suka penaklukan, dan tidak seperti Rann dan Erga yang suka mencari perhatian. Raga itu biasa saja, dalam artian tidak banyak tingkah, tidak begitu mencolok ketimbang teman-temannya yang lain. Malah mungkin jika nama Raga tidak bergelar 'Bagaskara', bisa saja Raga itu seperti dirinya, dan kebanyakan murid di SMA ini, yaitu menjadi murid yang biasa-biasa saja.
Kalau Agatha bisa memahami, Raga itu persis seperti Edgar. Sikapnya, kebaikannya, dan statusnya di kalangan sekolahnya-sama-sama primadona, sama-sama cerdas, dan sama-sama 'membumi' kepada yang lain.
Agatha kini lebih minat jika nama Raga di sebut-sebut oleh seseorang entah di kantin, di kelas, atau pun di koridor. Lebih peka dan langsung menoleh ketika seorang Raga tertangkap indra penglihatannya, lebih banyak menghabiskan untuk mencuri-curi pandang ke cowok itu, dan yang terakhir, ia sangat tertarik dan ia akan menyimak jika teman sekelasnya bergosip ria mengenai Raga dan antek-anteknya.
Seakan di balik nama 'Raga' terdapat sesuatu yang bisa membuat hati Agatha bergemuruh, atau bahkan bisa membuat Agatha melamun sepanjang hari.
Kadang Agatha bertanya-tanya kepada hatinya, apakah ia kini menyukai Raga? Bagaimana perasaannya kepada Edgar? Memikirkan itu sama saja menggoncangkan hati Agatha. Lagi-lagi Agatha mengulas senyum tipis, seakan ia telah mengakui jika selama ini ia seakan berkhianat dari ucapannya yang lalu, di mana tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Edgar di hatinya. Demi apa pun Agatha saat ini sedang menyumpah serapahkan dirinya sendiri.
Tapi, Agatha tidak begitu yakin dengan perasaannya ke Raga. Apakah ini hanya perasaan sesaat? Apakah Raga benar-benar menggeser posisi Edgar?
Tiba-tiba saja Agatha menjadi orang yang plin-plan memikirkan hal ini, tanpa mengetahui jika Raga kini, juga di ambang kebingungan karena dua cewek yang mengusik dirinya.
🌜🌕🌛
Pandangan itu seperti menerawang jauh entah kemana, menatap langit senja yang kini tengah menumpahkan hujan setelah mendung pekat yang akhir-akhir ini selalu menemani Kota Jakarta.
Setiap lima menit sekali, Raga cemas-cemas selalu saja melirik ponsel yang ia taruh di samping tempat duduk solonya, tepatnya di atas meja, berharap ponselnya itu menyala karena ada notifikasi yang ia tunggu-tunggu.
Dan benar saja, dentingan yang di tunggu-tunggu berbunyi dan ponsel Raga menyala. Logo Line muncul, pesan yang Raga kirimkan sudah di balas Anya. Dengan cepat Raga menggeser layar ponselnya dan membuka random chatnya dengan Anya. Topik chatnya kali ini mengenai sejauh mana Anya sudah belajar Fisika dan pendapat Anya mengenai novel karya Luluk HF yang tempo hari mereka dapatkan. Modus-modus PDKT.
Raga membaca pesan Anya. "Anya seneng banget kak sama buku bacaannya, sekarang Anya sudah baca seperempat bukunya lho!"
Hati Raga bermekaran dan menulis di bilah pesan. "Lain kali deh, kakak bakalan ngajak ke toko buku, kita cari buku inceran kita. Syaratnya harus menang olimpiade dulu," dan pesan itu terkirim sedetik yang lalu.
Tiba-tiba saja ponsel Raga bergetar panjang, nada dering Line, ada panggilan masuk. Raga melihat sesaat siapa yang menelfonnya, dan mengangkatnya.
"Hai Ndro, apa kabar?" sapa Raga duluan ketika panggilan itu terhubung. Dibalik nada cerianya, ada setitik kerinduan yang tidak bisa di sembunyikan dengan apik.
"Ndro, Ndro...dikira gue Indro apa?!" Raga tertawa mengejek. "Gue seneng panggil lo 'Ndro'," ah Raga jadi teringat Warkpo DKI membahas itu. "Di tanyain juga kabarnya gimana gak di jawab! Ada perkembangan?"
"Kabar gue sejauh ini ada perkembangan baik." Raga yakin jika seseorang di sebrang sana sedang tersenyum semringah. "Nah ini, berkat doa gue lo bisa gitu."
"Semoga guenya gak down kayak yang lalu, capek gue tiga tahun tersiksa terus, hahaha," tawa itu menghiasi pendengaran Raga, orang itu seakan sehat-sehat saja bukan? "Lo lagi apa?"
Raga menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Lagi apa ya, lagi main HP, terus pas banget lo nelpon gue."
Seseorang itu mendengus geli. "Ealah, main HP apa ada something? Biasanya juga hari libur belajar kerjaan lo!"
"Pengennya sih belajar, cuma ntaran aja deh. " Raga meraba dinding kaca yang penuh dengan titik air, seakan ingin mensirnakan itu semua. "Gue pengen nyantai aja dulu Ndro."
Suara di balik telpon meredup, tidak seperti tadi. "Gue juga mau nyantai-nyantai," hening sesaat, lalu suara lirih itu muncul. "Gue capek kayak gini terus, pengen kayak orang-orang gitu ... kuliah misalnya, nongkrong-nongrok and have fun bareng temen, atau enggak bareng 'dia', tapi cuma halu doang."
Seakan merasakan manuver yang berbeda, Raga mulai paham akan arti pembicaraan ini. "Lo kangen banget pasti sama 'dia' Ndro." Raga memberi jeda. "Gue juga peka kok, lo pasti mau nanyain kabarnya kan?"
Suara cengagas-cengeges muncul, sepertinya Raga berhasil mengalihkan suasana. "Tau aja lo ah, jadi makin sayang!"
"Idih! Sayang-sayang pala lo peang!" Raga menyudahi candaannya, kembali bersuara, "dia baik-baik aja." Raga mengubah posisi duduknya yang kurang nyaman. "Dia makin cantik kalo lo mau tau lebih detail, makin bohay, mak—"
"Heh! Berasa kayak habis nelanjangin orang aja lo!" Raga mendengar dengusan keras. "Bener-bener lo!"
Raga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, cukup lama mereka berbasa-basi. Selain karena ingin cepat-cepat membalas pesan Anya, Raga juga semakin penasaran dengan 'inti' pembicaraan ini. "Jadi ... apa yang lagi yang bakalan gue lakuin buat 'dia'?"
Dan Raga yakin, cowok yang ia sebut 'Ndro' tadi sedang mengulum senyumnya senang.
Raga sudah hapal tabiat cowok itu, isi hatinya perlu di curahkan setelah sekian lama terbendung rindu karena seseorang yang berhasil mengubah hidupnya. Senja pun juga tahu siapa 'dia' yang dimaksud.
🌜🌕🌛
Tsafita Zulfa
10 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGATHA
Teen FictionIni cerita simpel, cerita tentang kehidupan Agatha yang berubah seratus depalan puluh derajat setelah ditinggalkan oleh kekasihnya yang tiba-tiba meninggalkannya tanpa alasan yang jelas Ini cerita tentang lembaran baru Agatha dengan Raga yang datang...