BAB VI

4 0 0
                                    

Mata itu tak lagi ingin menyinari, semua hanya ada kesenduan. Aku atau pun mama masih menyisahkan kesedihan yang dalam. Mama lebih merasakan sedih yang panjang, menangis melihat fhoto papa. Lalu apa bedanya? Aku pun menangisi papa. Hanya saja aku simpan di hati. Papa lah satu satunya pelindungku.

"Ma.. zia bawakan makanan. Mama makan dulu ya!"

Pinta ku penuh hati hati karena semua akan terasa salah. Dan benar mata mama menatap tajam menusuk perih kedalam hati. Masih tetap tak berubah. Kebencian mama terasa semakin besar. Diam itu yang dapat aku lakukan, lidah terasa keluh,

"Apa peduli kamu?" Dimana kamu, di saat kami semua menderita? Dimana kamu saat kami menangis, saat semua orang menjauhi kami. Dimana kamu? Bersenang senang disana?"

Tubuh ku terpojok di sudut ruangan, sempit dan gelap. Semua beku tak ada yang mampu menolong. Mataku menahan perih air mata. Rasa ingin memberontak tapi sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. Di depan ini orang yang sangat orang aku sayangi.

"Kamu membiarkan kami menderita, susah, sengsara, kelaparan,di mana kamu? Dari dulu kamu memang tak pernah bisa di andalkan. Anak pembawa sial!! Karena kedatangan kamu tulan gpunggung kami pergi untuk selamanya" Teriak mama sekuatnya

Mama menangis, perih hatiku melihat ini. Ingin rasanya memeluk mama, menguatkan semua asa yang tersisa. Tapi aku tak sanggup. Kebencian mama tak terkalahkan oleh kasih sayang ku. Entah dengan apa meredam kebencian mama. Semua perkataan mama sungguh menydutkan aku. Harapku semakin jauh untuk meraih kasih sayang mama yang tersisa. Aku masih dalam posisi diam di tempatku berdiri, mendengar semua lontaran kemarahan mama. Semua kemarahan itu sudah terlalu lam tersimpan dihati mama. Dari dulu kalimat itu selalu aku dengar. Aku anak pembawa sial!! Dan mungkin memang benar, papa pergi setelah kedatangan ku. Aku juga kehilangan papa, hilang semua kasih sayang papa. Kadan gaku bertanya dimana hati nurani mama? Membenci anaknya sendiri. Apa hati seorang ibu seperti ini? Aku rindu pelukan mama. Kenapa aku tidak mendapatkan itu. Aku juga anaknya.

"Pergi anak sial!!! Pergi!!!!!" Teriak mama

Suara mama terasa menggelegar. Aku terdiam menahan tangis. Tubuhku kaku tak bisa bergerak teras kaku. Ketika amarah mama memuncak. Tanganku ditarik keluar dari kamar mama. Suara pintu terbanting dengan keras. Aku sampai tak menyadari bahwa aku sudah berada dilantai atas. Tubuhku lemas terkulai di tempat tidur. Suara gemuruh hujan menyadarkan aku. Aku menatapnya penuh senyuman dari kaca jendela.

"Hujan zi...." suara lyla memecahkan keheningan. "Kamu masih suka hujan?"

"Masih.." Jawabku pelan

"Kamu ingat waktu kita di hukum saat hujan"

"Bukan kita tapi hanya aku saja kak"

Aku mendekat ke jendela melihat hujan. Dia sedang apa sekarang? Apa disana hujan, atau pangeran kodok memang sengaja memanggil hujan untuk menemaniku disini. Selama ini hanya Dia yang menemaniku disaat hujan.

"Zi... Kenapa tak melawan mama. Sekali saja membantah mama. Semua yang di lontarkan mama itu berlebihan."

Aku tersenyum, "Percuma kak. Bila akhirnya aku tetap salah di mata mama. Benarkan?"

"Kalau begitu kamu pindah ke kamar ini. Sementara kakak di kamar kamu. Bagaimana?"

Aku mengangguk tanda setuju. Aku memang harus menghindar dari mama. Setidaknya itu bisa membuat mama sedikit tenang. Sekarang hanya ada aku dan hujan. Pangeran kodok yang memangil hujan menghiburku. Omelan dia membuat aku rindu. Bila bersama dia saat tersedih pun, aku masih bisa tersenyum. Ingin rasanya aku bersamanya, melewati hujan. Karena saat hjan kita hanya berdiam diri, menatapnya turun. Hal yang tak bisa kita lakukan saat hujan tak datang. Kita selalu disibukan segala hal, tapi saat dia ada kita hanya diam bersama deraian hujan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANTARA AKU, DIA, dan KENANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang