Seperti harapan yang selalu muncul.
Sella menatap jatuhnya air hujan dari jendela kelasnya, tadi. Saat ia masuk kelas ia mendapat hukuman dari Bu Rita selaku guru Fisika, Sella di suruh berdiri selama pelajaran ibu itu. Sella benar-benar lupa kalau jam pertama adalah guru yang terkenal tegas dan taat sesuai peraturan.
Bu Rita sudah keluar kelas sejak 5 menit lalu dan Sella duduk termenung merasakan pegal kakinya, Sella melirik teman sebangkunya yang bernama Melda, perempuan keturunan Cina dan hobi membaca novel dengan kadar otak pas-pasan tak lupa dengan kacamata minus yang selalu bertengker di hidungnya. Melda hanya asik dengan dunia media sosialnya.
"Sel, pulang nonton kuy." Melda membenarkan kacamata bulatnya.
"Kemaleman nanti pulangnya. Sabtu aja ya?"
"Gak janji deh kalau sabtu. Minggunya aja mungkin ya? Tapi belum pasti." Melda tampak berfikir.
"Idih tumben banget luuu, mau malmingan or halan-halan nih?" ucap Sella dengan tatapan menyelidik tentu dengan senyuman yang khas.
Melda hanya menampilkan senyum malu-malu mendengar ucapan Sella, "Ada yang lagi deketin gue, ngajak jalan malam minggu." Melda menggeser layar ponselnya lalu menampilkan foto lelaki yang lumayan ganteng. Gak seganteng Daren. Menurut penilaianSella.
Sella mengerutkan dahinya, lalu mendekatkan wajahnya ke layar ponsel. "Bukan sekolah kita ya?" tanya Sella menatap Melda yang memutarkan bola matanya setelah mendengar ucapan Sella.
Melda menarik setiap sisi bibirnya dengan tatapan datar ke arah Sella. "Lo terlalu betah sama nih kelas. Sampai gak tau orang-orang yang seangkatan kita." Melda kembali memperlihatkan foto lelaki tadi.
"Ini namanya Naufal anak kelas dua belas IPA lima." Sella hanya mengangguk-angguk mengerti walaupun sebenarnya ia belum pernah melihat langsung lelaki bernama Naufal itu.
Sella sadar sekarang mengapa ia asing dengan wajah Daren, karena Sella lebih betah dengan kelasnya dan tidak tau berita-berita bahan gibah di sekolah ini. Sella kembali menatap hujan yang mulai reda dari kaca jendela yang teransparan, sinar matahari pun mulai terlihat kembali, sedangkan Melda sudah asik kembali dengan benda pipihnya.
Tatapan Sella beralih ketika seorang guru dengan buku yang di bawa itu masuk ke kelasnya, kelas seketika diam, dari yang sedang bermain catur di depan kini sudah buru-buru untuk duduk, begitu yang lain juga ada yang sedang tidur dengan cepat merapikan penampilan.
"Hayoo panik." Pak Rudi terkekeh melihat anak murdinya dengan kecepatan singkat langsung meninggalkan kegiatannya.
Pak Rudi duduk di tempatnya. "Kirain jam bapak kosong. Udah asik Pak main catur." Suara lelaki yang memiliki rambut agak keriting juga memiliki campuran darah Jerman, lelaki bernama Vano itu menghentikan kegiatan Pak Rudi yang akan membuka halaman buku.
"Catur? Emang kamu bisa main catur?"tanya Pak Rudi sambil menopangkan kepalanya dengan tangan di meja, tangan satunya mengetuk-ketuk meja pelan.
Vano memukul dadanya bangga. "Saya ini juara kelas Pak. Belum ada yang bisa ngalahin saya Pak."
"Emang dasar teman kamu gak bisa main mungkin. Makanya kamu menang terus." Pak Rudi mulai membuka halaman bukunya.
Vano hanya diam tak berniat membalas ucapan guru Bahasa Indonesia itu, dan kelas pun kembali sunyi dengan Pak Rudi yang memulai menulis di papan tulis. Setiap bapak itu menjelaskan tidak ada yang ribut, semua mengikuti dengan cermat. Itu semua karena rasa kantuk yang di alami satu kelas. Di pendengaran mereka Pak Rudi seakan ia sedang mendongeng untuk tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stratus
Teen Fiction"Lo itu seperti awan stratus Sell." Sella memandang Daren bingung, lelaki itu sedari tadi tersenyum sembari menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. "Lo bisa membawa kebahagian di saat gue lagi merasa gerah sama semua masalah." Sella langsung m...