5/RUANG BK

33 10 2
                                    

Tidak ada yang namanya hidup tanpa luka.

Tatapan mata Daren tak lepas dari gerak-gerik Pak Adam yang mencoba menelpon seseorang, Pak Adam sesekali menoleh ke Daren untuk memastikan kalau anak muridnya tidak kabur. Pak Adam berdesis saat teleponnya tidak terjawab oleh orang di seberang sana, kepalanya mulai berdenyut. Rasanya Pak Adam ingin sekali cepat-cepat pensiun kalau selalu di hadapi murid seperti Daren, kenapa sangat minim murid yang hadir lebih memilih konsultasi soal pendidikan.

Pak Adam duduk di hadapan Daren, tempat kekuasaan Pak Adam. Pak Adam menaruh ponselnya di meja dengan sedikit di banting, mata tajamnya menatap mata Daren yang tak kalah tajam seakan beradu.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Sudah cukup saya melindungi kamu dari kata di keluarkan. Tapi, kamu? Seakan tidak sadar kalau saya sedang melindungi kamu." Pak Adam mengetuk meja memastikan kalau Daren fokus dengan ucapannya.

"Sudah berapa kali surat panggilan saya beri tapi tidak satupun perwakilan kamu yang hadir." Pak Adam berusaha tenang.

"Dan kamu, tidak pernah memberi tahu kalau alamat rumah kamu yang tertera di sekolah adalah alamat lama." Pak Adam terus menyudutkan Daren di setiap masalahnya.

"Kami telepon juga tidak pernah ada balasan." Lanjut Pak Adam, Daren tampak memalingkan wajahnya ke kanan menatap lekat lukisan yang terpajang di dinding.

Pak Adam mengetuk meja dengan keras membuat Daren langsung menoleh dengan tatapan datar, "Buat apa bapak mempertahanin saya di sekolah ini?  Kalau memang saya harus dikeluarkan ya silakan." Pak Adam yang mendengar perkataan Daren tersenyum miring.

"Daren. Saya mempertahankan  kamu di sini karena waktu kamu sudah tidak lama lagi di sekolah ini, kamu sudah kelas dua belas Daren. Saya tau kamu memiliki potensi." sentak Pak Adam. "Harusnya kamu berterimakasih dengan guru-guru yang membela kamu. Agar kamu bertahan di sekolah ini." lanjut Pak Adam

Daren menoleh ke arah pintu saat suara pintu terdengar terbuka, bola matanya membulat ketika bomerang kedua  dalam hidupnya datang. Daren berdesis ketika langkah orang tersebut menghampirinya dengan wajah kecewa, tak lupa dengan buku-buku agama yang digenggam.

Rambut Daren di tarik gemas. "Daren, Daren, Daren. Baru tiga hari yang lalu saya kasih hukuman dan kamu buat masalah kembali." Amarah wali kelasnya itu membuat Pak Adam tersenyum miring.

"Ampun umi." Keluh Daren dengan berusaha melepas genggaman tangan wali kelasnya dari rambutnya. Sakit. Itu yang ia rasakan. Seakan semua rambutnya akan tertarik lepas.

Bu Tia duduk di samping Pak Adam dengan wajah kecewa, terbaca oleh Daren kalau di raut wajah wali kelasnya itu ada kata lelah. Bu Tia menatap Daren lekat seakan berusaha membaca pikiran yang ada di otak Daren. Tatapannya mengintrogasi.

"Kamu lihat Daren, wali kelas kamu saja sudah habis kata-kata untuk memberi kamu peringatan." Daren melirik ke Pak Adam. Rasanya ia ingin menyumpal guru satu itu.

"Daren. Saya sudah berapa kali menceramahi kamu? Saya berusaha mengerti kamu. Saya berusaha untuk tidak menjadi wali kelas yang gagal untuk kamu, dan saya tidak akan bosan dengan masalah kamu. Tapi, coba kamu buka mata kamu. Berapa banyak orang yang peduli dengan kamu, dan kamu tidak pernah memperdulikan mereka." Daren diam, Pak Adam juga ikut diam. Bahkan waktu pun terasa terhenti sejenak untuk memberi waktu agar Daren dapat berfikir jauh.

StratusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang