10/Upacara

30 8 2
                                    

Semakin hari semakin sering mendengar beritanya.

"SALMAN! LO HARUS ANTERIN GUE DULU! KALAU GAK GUE BILANG AYAH LO BERANGKAT NAIK MOTOR!" teriak Sella, ia sedang buru-buru. Ini adalah hari senin, dan perempuan itu kesiangan karena tidur terlalu larut malam.

Kalau saja bukan Salman yang membangunkan Sella, mungkin perempuan itu saat ini masih berada di alam mimpinya.

Saat ini Sella masih di kamar dengan memakai baju secepat mungkin, ia harus cepat-cepat mengejar Salman yang sedang memanaskan motor di halaman rumah. Kalau tidak bisa-bisa dirinya di tinggal.

"SALMAN TUNGGU!" Teriak Sella dari atas balkon sambil menyisir rambut panjangnya yang basah dan belum sempat ia keringkan.

Salman mendongak ke atas. "Gue juga udah mau telat Kak! Maaf banget. Gue egois. Babayy." Salman memakai helm tanoa kaca itu dan melambaikan tangan dengan bangga ia langsung menggas motornya keluar halaman tanpa peduli dengan gerbang yang terbuka lebar.

"Adek laknat! Dasar SILUMAN! " Sella langsung menyambar tasnya, tak peduli dengan kamar yang masih berantakan dan juga penampilan yang terlihat kacau dari hari-hari biasanya.

Bagaimana tidak, Sella bangun jam 06.35. Belum lagi ia mandi dan menyiapkan jadwal pelajaran, sedangkan untuk ke sekolah membutuhkan waktu 20 menit atau lebih dari itu.

Rambut Sella yang belum benar-benar kering membasahi punggung gadis itu, Sella dengan cepat menuruni anak tangga dan lari keluar rumah tanpa ada niat sarapan.

Sella memesan ojek online, Sella menghentakkan kakinya sebal ketika melihat layar ponselnya yang menampilkan rute jalan sang ojol.

"Kok cuma muter-muter doang sih!" kesal Sella menghentak-hentakkan kakinya tiga kali ke permukaan.

Dua menit kemudian abang ojek datang, lalu dengan cepat memberikan helm kepada Sella yang tampak terburu-buru.

****

Di lapangan inilah Sella berakhir memalukan dan tragis, ia di hukum karena terlambat dan menjadi  contoh buruk kepada murid-murid yang sedang menjalani upacara. Ia tak sendiri, ada Daren dan juga temannya Karel. Sella malu, malu karena di antara mereka bertiga dia perempuan sendiri.

Sella hanya menunduk malu, belum lagi sinar matahari yang menyengat kepalanya, dan Sella juga lupa dengan topi. Daren tampak terlihat gagah, ia seperti menikmati hukuman itu dengan sukarela. Sedangkan Karel yang berada di tengah antara Sella dan Daren sedari tadi bergumam tidak jelas, sekali-kali ia menyumpah serapah kepada guru yang sedang menjadi pembina upacara.

Sedari tadi pembina upacara memberi amanat tidak selesai-selesai, padahal sudah ada beberapa murid yang menjadi korban dan pingsan.

"Dan untuk kelas dua belas, kalian itu sebentar lagi akan menghadapi ujian. Kurangi masalah yang ada di sekolah, kurangi terlambat. Jangan seenaknya sementang udah senior." ceramah sang pembina.

"Bla bla bla. Bacot, bacot, bacot. Panas jeng." gumam Karel kesal sambil menunduk. Karel persis seperti bocah yang kesal.

Upacara selesai, Sella, Karel dan Daren setelah itu cepat-cepat pergi dari tengah lapangan karena malu sudah menjadi bahan contoh buruk bagi murid lain. Bukan mereka bertiga yang malu, tapi hanya Sella dan Karel. Bahkan Daren masih bisanya berjalan anggun dengan menyisir rambut menggunakan tangan kanannya serta tersenyum ramah kepada beberapa siswi yang menyapanya.

Sella berjalan lebih dahulu dari Daren dan Karel, mereka ada di belakang Sella.

"Sialan, tau kayak gini gue gak bareng lo Daren!" pekik Karel yang terdengar jelas di telinga Sella, beberapa siswa yang naik dan turun tangga pun melihat dengan heran karena suara Karel yang nyaring.

StratusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang