Bab Pertama

108 18 27
                                    

Keadaan Kota Arciplants West saat ini sangat mengenaskan. Beberapa warga tergeletak di tanah dengan keadaan tak kalah menyedihkan. Mulut berbusa, mata memelotot bahkan badan mereka terbujur kaku dan dingin. Tidak ada yang berani menolong karena takut tertular. Semua menjauh. Menyelamatkan diri masing-masing. Rasa simpati antar manusia mereka telah musnah.

“Ibuuu!” teriak seorang bocah sambil menangis. Langkahnya yang kecil berusaha mendekat ke arah tubuh wanita yang dipanggilnya ibu.

“Jangan mendekat, Ren. Bahaya.” Seorang perempuan tiba-tiba datang dan menghalang lari bocah laki-laki tersebut. Dia juga memegangi lengan kecil tersebut. Isak tangis pun semakin terdengar, bocah itu meronta-ronta minta dilepaskan. Perempuan itu menatap miris keadaan sekitar. Kotanya benar-benar di ambang kehancuran.

“Reyyan, seharusnya kau di sini,” gumam perempuan itu pelan.

Suara derap kaki terdengar semakin dekat, pimpinan Kota Arciplants West, Arsenio Ruddolf, baru saja datang. Di belakangnya ada beberapa orang kepercayaannya, sedang di sampingnya terdapat dua wanita berpenampilan seksi. Di saat keadaan kota yang sedang kacau begini, dia masih saja mementingkan nafsu binatangnya.

“Berapa warga yang sudah menjadi korban?”

Belum ada jawaban, semua masih terdiam, mengunci mulut rapat-rapat. Perempuan yang sedang memeluk bocah laki-laki tadi hanya memandang Arsenio datar. Pemimpin egois.

“Anda bisa lihat sendiri ke sekitar, Tuan.”
Arsenio hanya tersenyum tipis mendengar suara perempuan yang baru saja menjawab pertanyaannya. Perempuan berwajah agak lonjong, manis, dan mirip mendiang istrinya. Wajar saja putra tunggalnya sangat mencintai perempuan itu. Dia yang sangat menarik.

“Baiklah. Bawa mereka ke istana. Tabib akan mencoba mengobati. Gunakan kain atau plastik sebelum menyentuh mereka. Karena wabah ini belum dipastikan menular lewat apa, jadi untuk jaga-jaga lakukan seperti yang aku bilang,” ucap Asenio ke orang-orang di belakangnya. Mereka segera menjalankan perintah.

Beberapa warga pergi ke rumah masing-masing, namun beberapa dari mereka ada yang tetap tinggal. Meneruskan kegiatan yang tertunda: berjudi, bercumbu bahkan berhubungan badan. Miris sekali, bukan?

***

“Bagaimana? Apakah mereka bisa disembuhkan?”

“Maaf, Tuan, tidak bisa. Mereka hanya bisa diberi obat untuk menghambat penyebarannya saja. Penyakit mereka ini langka dan baru saja terjadi di kota kita. Jadi saya belum menemukan penawarnya,” jawab seorang tabib dengan sebotol ramuan di tangannya. Bahkan ramuan herbal yang sangat mujarab buatannya tak bisa menyembuhkan warga. Padahal, ramuan itu sangat bisa diandalkan sebelumnya.

“Saya dan beberapa tabib sudah menyelidiki asal mula wabah ini ada, Tuan. Wabah penyakit ini berasal dari Danau Sadnatt. Tiba-tiba saja air di danau itu menjadi keruh. Beberapa warga mengira itu akibat belerang yang naik ke permukaan, dan mereka tetap mengonsumsinya. Sampai keadaan mereka menjadi seperti saat ini. Mereka tak tahu jika airnya sudah berbahaya.”

Arsenio terdiam, pria berumur awal lima puluh tahun itu mengernyitkan dahi agak dalam. Rambutnya yang sedikit beruban tampak basah oleh keringat. Dua wanita seksi masih setia di sampingnya, bahkan memijat lengan kokoh miliknya. Dan itu sama sekali tak membuatnya terganggu, karena Arsenio sudah biasa mendapat perlakuan seperti ini.

“Apakah tidak ada penawarnya?”

“Ada, Tuan. Edelweissigra. Tanaman abadi, obat dari segala obat. Dia bisa menyembuhkan segala macam penyakit.” Perkataan tabib tertua yang baru saja datang membuat semua yang ada di ruangan terdiam. Mereka pernah mendengar tanaman itu. Tanaman yang sangat langka dan belum pernah ditemukan sebelumnya.

Arsenio teringat dengan putra tunggalnya yang diusir dari kota beberapa hari yang lalu. Seharusnya, dia dapat diandalkan saat ini untuk mencari tanaman abadi. Fisiknya yang mulai melemah, membuat Arsenio tak yakin untuk dapat mencari Edelweissigra.

Lantas, pria setengah baya itu pergi meninggalkan ruang pengobatan, dia meminta dua wanita yang selalu mengekor di belakangnya untuk tidak mengikuti. Dia akan ke sesuatu tempat yang mungkin akan memberinya solusi. Andai sang istri masih hidup, dia tak akan sepusing ini. Arsenio berpikir Edelweissigra tumbuh di Arciplants East. Kota yang penuh dengan makhluk immortal pemilik darah murni.

***

“Apa kalian tidak punya otak, hah? Di saat keadaan kota sangat kacau seperti ini, kalian masih saja bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Hanya memikirkan ego, dan tentu saja nafsu binatang kalian yang tak ada habisnya.”

Tak ada yang mendengar ucapan perempuan tersebut, semua warga tak acuh dan meneruskan kegiatan mereka masing-masing. Lantas suara isak tangis seorang bocah mengalihkan perhatian. Wajah penuh amarh perempuan tadi sudah berubah menjadi sedikit tenang.

“Jangan menangis, Ren. Anak lelaki harus kuat, tidak boleh cengeng.”

“Tadi, I-ibu mau dibawa ke mana, Sirra?”

“Ke istana. Ibumu akan baik-baik saja. Ayo ikut aku pulang dulu.”

Bocah lelaki itu menatap Sirra di sebelahnya dengan sedikit ragu. Isak tangisnya sudah tak terdengar. “Kau tidak berbohong?”

Perempuan tersebut menggeleng dan tersenyum tipis. “Tidak, kau bisa percaya padaku, Ren.”

Lantas Ren mengangguk. Mereka berdua pergi meninggalkan orang-orang yang masih asyik dengan  kegiatan binatang mereka.

“Reyyan, aku harus memberitahunya. Ya, hanya dia yang bisa menolong kota ini.”

Pikiran perempuan itu menerawang jauh. Di mana dia harus mencari Reyyan? Kekasihnya itu seorang half blood, pasti dia tak akan mudah tertular penyakit dari wabah saat ini. Sial. Seharusnya warga tak berbuat semena-mena kepada Reyyan. Wabah kali ini bisa saja akibat dari kelakuan mereka, bukan? Seks bebas tanpa ikatan, berjudi, suka memeras dan banyak kelakuan bejatnya.

Keadaan kota yang seperti saat ini tak memungkinkannya berkeliaran. Belum ada pengumuman pasti soal penyebaran wabah tersebut, bagaimana cara penularannya, dan cara mencegahnya. Terlintas di pikirannya, mengapa dia tidak seorang half blood atau pemilik darah murni seperti warga Arciplants East? Mereka tak mudah sakit, bahkan bisa hidup dengan umur ratusan tahun.

‘Ah, lupakan pemikiran bodohmu itu, Sirra. Menjadi manusia sudah takdirmu.’

Saat ini dia harus pulang ke rumah dengan segera. Ayah dan ibunya pasti menunggu. Sirra akan berbincang dengan mereka, mungkin saja perempuan itu akan menemukan jawabannya.

***

Gimana bab pertamanya? Maaf ya kalau gaya bahasa YA atau romance-nya masih kerasa banget, dan fantasy-nya jadi kurang🙈

Jangan lupa krisar dan vote-nya ya, Gaes. Buat perbaikan aku ke depannya💕

See you tomorrow~

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang