Bab Kedelapan

21 3 12
                                    

Aphologys adalah manusia setengah ular yang suka mengganggu tujuh kurcaci bersaudara saat mereka mencari tumbuhan untuk membuat ramuan. Dan Reyyan harus mengalahkan makhluk tersebut untuk mendapatkan ramuan penyamar bau darah. Kini lelaki itu termenung dalam pondok para kurcaci, memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Aphologys.

Hingga tanpa sadar, semilir angin malam membuat lelaki itu menguap lantas tertidur. Reyyan kembali bermimpi bertemu dengan sang ibu. Dalam mimpinya kali ini, dia melihat sang ibu sedang membaca sebuah buku yang cukup tebal, berwarna cokelat agak kusam.

Saat melihatnya, sang ibu tersenyum. Menyuruh Reyyan mendekat dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu menurut, setelah di samping sang ibu, ia ikut membaca isi buku tebal itu. Dahinya mengernyit, bahasa dalam buku itu sama sekali tak ia pahami.

“Buku apa ini, Bu?”

Karlotte tersenyum, memandang putranya dengan penuh kasih sayang. “Buku sihir turun temurun milik keluarga Ibu, Nak.”

“Sihir?”

“Iya, kau harus mempelajarinya juga. Karena dalam tubuhmu, juga mengalir darah penyihir.”

Reyyan terdiam, tak menjawab perkataan ibunya yang terakhir. Lelaki itu masih asing dengan kata sihir.

“Dengan sihir, kau bisa mengalahkan Aphologys, Reyyan.”

Mata Reyyan membulat, menatap ibunya tak percaya. Apakah beliau bisa membaca pikiran?

“Aku selalu memantaumu, Reyyan. Tak perlu terkejut seperti itu. Yang terpenting, segera pelajari buku ini dan selesaikan tugasmu. Keadaan kota sudah semakin mengkhawatirkan, Nak. Kau tak punya banyak waktu.”

Tersadar dari tingkah bodohnya, Reyyan mengangguk. Lelaki itu menerima buku tersebut dari sang ibu. Hingga angin kembali berembus, menariknya kembali ke dunia nyata. Hingga akhirnya terbangun dari tidur. Di atas dadanya, terdapat buku bersampul cokelat kusam, persis di mimpinya tadi.

Reyyan membuka buku tersebut, mempelajarinya perlahan-lahan. Mencoba mengerti isi dan bahasa yang terdapat dalam buku. Rupanya, memang tak sesulit yang ia bayangkan tadi. Reyyan hanya harus bersabar dan terus belajar.

***

Di Arciplants West, keadaan semakin mengkhawatirkan. Sumur yang ada di balai kota sudah banyak berkurang. Dikarenakan beberapa warga yang tidak menaati peraturan. Mereka mengambil air secara berlebihan ketika malam hari. Di mana tidak ada penjagaan dan semua warga sedang tertidur. Manusia egois, tidak memikirkan yang lain.

Keadaan Sirra juga tak kalah mengkhawatirkan saat ini. Setelah pertemuannya terakhir dengan Reyyan beberapa hari yang lalu, perempuan itu menjadi pendiam. Ren yang melihat Sirra seperti itu pun sedih. Bocah laki-laki berumur 6 tahun itu seperti kehilangan semangat hidup lagi. Sang ibu yang belum sembuh dan masih tertahan di balai kesehatan kota, ditambah saat ini Sirra yang tak mengajaknya bicara sama sekali.

“Sirra, kenapa kau diam? Kau bilang dulu, mau mengajariku banyak hal. Ayolah,” rengek bocah kecil itu. Sirra tak merespons, perempuan itu masih terdiam dengan tatapan kosong.

“Paman, Bibi. Sirra kenapa?”

Mario dan Maria juga terdiam, mereka bingung menjawab seperti apa kepada Ren. Sejak percakapan terakhir Sirra dan Reyyan, perempuan itu memang seperti kehilangan gairah hidup. Orang yang dia cintai pergi, apa yang harus dia lakukan lagi? Tak ada. Hidupnya serasa tak berguna.

“Sirra hanya sedang sakit, Ren. Kau hanya perlu menunggu dan selalu mengajaknya bicara. Dia akan pulih seperti semula. Hanya butuh waktu,” jawab Maria sembari mengelus kepala bocah laki-laki itu. Senyum keibuannya membuat Ren percaya, bocah itu kembali mengajak bicara Sirra.

“Sirra, kau mau makan? Tadi aku menangkap kelinci. Bagaimana kalau kita memasaknya bersama?”

Lagi. Sirra tak menanggapi. Namun, hal itu tak membuat Ren patah semangat. Bocah laki-laki itu terus berusaha mengajak bicara. Sampai ia lelah dan memilih beristirahat ke kamar. Mungkin, besok pagi dia akan mencoba lagi.

“Sirra, kau tak boleh seperti ini terus, Nak. Reyyan pasti sedih jika melihat keadaanmu.”

Maria memeluk Sirra erat dari samping. Mengusap pipi putrinya yang sudah pucat pasi. Hingga, tiba-tiba Sirra mengeluarkan air mata. Gadis itu menangis tanpa suara.

“Aku mencintai Reyyan, Bu. Sangat mencintainya. Kenapa dia pergi meninggalkanku? Kenapa, Bu?” tanya Sirra pelan.

“Sirra, dengarkan Ibu, Nak. Cinta itu tak harus saling memiliki, kan? Kalau kau mencintai Reyyan, ikhlaskan dia dengan pilihannya. Percaya dengan takdir. Jika kalian jodoh, kalian akan dipersatukan lagi nantinya.”

Mario hanya menatap istri dan anaknya dengan mata berkaca-kaca. Tak sanggup hanya melihat saja, akhirnya dia memeluk keduanya dengan erat. Semoga putrinya bisa segera kembali seperti semula.

***

Sudah tiga hari ini Reyyan mempelajari buku sihir yang diberikan ibunya lewat mimpi tempo hari. Pemuda itu sudah mulai menguasainya sedikit demi sedikit. Kuncinya hanya di fokus. Lelaki itu sering gagal hanya karena kurang fokus. Dia harus mengumpulkan energi dalamnya. Karena juga dia seorang half blood, membuat proses belajarnya sedikit lebih lama.

“E, bagaimana? E, kau sudah siap menghadapi Aphologys?” tanya kurcaci G sambil menghampiri Reyyan. Dia tersenyum menatap lelaki itu. Sungguh berbeda dari manusia lainnya.

“Sepertinya aku siap.”

“E, jangan lupa. E, kau punya kalung permata putih itu. E, itu bisa kau gunakan juga nantinya.”

“Kalung ini? Apakah bisa?”

“E, kau bisa mencari tahunya sendiri nanti. E, aku pergi dulu.”

Kurcaci G itu meninggalkan Reyyan dengan banyak pertanyaan di kepala lelaki tersebut. Apa maksudnya? Reyyan tidak paham. Akhirnya, lelaki itu mencoba tidak menghiraukan perkataan kurcaci G. Dia kembali membaca buku sihir tersebut.

Keesokan harinya, Reyyan dibawa tujuh kurcaci bersaudara ke sebuah gua. Di sekitar gua tersebut, banyak sekali tumbuhan yang Reyyan tidak ketahui jenisnya. Hawa di tempat ini juga sedikit berbeda. Terasa mencekam.

Tak beberapa lama, muncul seorang manusia setengah ular di hadapan Reyyan. Dari kepala hingga pinggang, wujudnya manusia. Dia tak memiliki kaki, tetapi ekor yang cukup panjang. Makhluk itu menatap Reyyan meremehkan.

“Jadi, kalian membawa seorang manusia kemari? Tidak salah? Dia hanya akan menjadi tumbalku. Haha, ssttt.”

Suara makhluk itu menggelegar, seperti petir. Membuat telinga Reyyan berdengung.
Tujuh kurcaci bersaudara mundur, mulai menjauh dari Aphologys. Reyyan menyiapkan posisi kuda-kudanya, bersiap bertarung dengan makhluk setengah ular itu. Karena kurang sigap, tubuhnya terpelanting jauh karena sabetan ekor Aphologys.

“Sial,” umpat Reyyan sembari menghapus darah yang ada di lengannya, tak sengaja tergores oleh ranting tajam.

Reyyan berdiri, mencoba memfokuskan diri. Mata lelaki itu memejam, tangannya direntangkan ke depan.

“La but cha' ci ra' mu so.”

Setelah mengucapkan mantra tersebut, makhluk setengah ular itu kepanasan. Tubuhnya menggelepar di tanah. Dia belum mati. Reyyan mendekat ke arah makhluk tersebut. Kalung permata putih miliknya bersinar terang, Reyyan segera mencopotnya dari leher. Dia menempelkan kalung tersebut ke ujung ekor Aphologys. Sesaat setelah itu, tubuh makhluk itu terbakar api yang besar. Tubuh Reyyan terpental dari sana. Saat membuka mata, Aphologys sudah menjadi debu. Tujuh kurcaci bersaudara menari gembira dan menghampiri Reyyan. Akhirnya, tak akan ada lagi yang mengganggu mereka.

***

Selamat malam, ketemu lagi sama aku. Krisarnya ya, Gaes. Aku juga masih belajar soal genre ini. So, butuh banyak sekali krisar. Maaf, bumbu dramanya masih kental. Hehe.

See you next chapter, Dear~

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang