Bab Kelima

27 6 6
                                    

Reyyan melangkahkan kakinya dengan cepat, lelaki itu harus menemui Sirra secepatnya, ada yang ingin dia sampaikan. Pikirannya tak akan tenang jika belum bicara dengan perempuan itu. Kalung peninggalan sang ibu, yang diberikan oleh Arsenio tadi dia genggam erat. Seolah-olah tak ingin benda tersebut jatuh dan akhirnya hilang. Itu sama saja tak menghargai benda kesayangan sang ibu menurut Reyyan.

Beberapa meter lagi, dia akan sampai ke rumah Sirra. Malam sudah semakin larut, semoga saja perempuan itu belum tidur.

“Reyyan?”

Suara wanita paruh baya itu membuat Reyyan terlonjak kaget sedikit. Lelaki itu tersenyum tipis setelahnya, ternyata ibu Sirra.

“Iya, Bu. Sedang apa malam-malam begini keluar?”

Maria menunjukkan rempah-rempah yang dipegangnya, lantas membalas senyum Reyyan. Dia baru saja kembali dari hutan di dekat rumah untuk mencari bahan-bahan membuat ramuan. Wanita paruh baya itu mengajak Reyyan untuk masuk rumah. Lelaki itu menolak, dia memilih duduk di teras saja.

“Kau kembali untuk apa, Rey? Aku masih tak percaya.” Maria bertanya sambil meletakkan rempah-rempah yang dia dapat ke atas meja. Memang, sejak tragedi pengusiran Reyyan dari kota, Maria tak menyangka atau bahkan berharap jika lelaki itu akan kembali lagi ke sini. Ego Reyyan sangat tinggi, seperti ayahnya Arsenio. Jadi bisa dibilang mustahil.

“Arsenio menemuiku di hutan, Bu. Katanya, Ibu memintaku kembali ke Arciplants West. Kota sedang dilanda wabah, ya?” jelas Reyyan pelan. Kalung yang dia genggam sedari tadi akhirnya dipakai di leher. Permata putih yang menjadi liontinnya pun bersinar terang. Sedikit membuat silau orang yang melihatnya. Maria bahkan harus menutup matanya dengan telapak tangan sebentar.

“Karlotte maksudmu?” tanya Maria dengan alis terangkat sebelah.

Reyyan mengangguk.

“Sirra ... apakah sudah tidur, Bu?”

Lamunan Maria buyar. Wanita paruh baya itu sedang mengingat masa-masa di mana dia dan Karlotte dulu pernah dekat. Saat Arsenio mengenalkan Karlotte sebagai istri dan membawanya ke Arciplants East. Dulu Maria mengira Karlotte adalah manusia biasa sepertinya. Namun ternyata tidak.

“Belum. Biar aku panggilkan dulu.”

Maria beranjak dari duduknya, lantas berlalu masuk ke rumah untuk memanggil putri tunggalnya. Dia ingat, Sirra mengatakan jika dia merindukan Reyyan. Pasti Sirra akan senang mendapat panggilan darinya ini.

Langkah Maria terhenti saat berpapasan dengan sang suami. Mata mereka bersiborok, tanpa kata yang terucap. Hening. Beberapa saat kemudian, mereka saling memalingkan wajah. Ekspresi mereka berdua datar, tak bisa ditebak. Maria melanjutkan langkahnya menuju kamar Sirra.

“Sirra, kau sudah tidur?”

“Belum, Bu. Ada apa?”

“Keluar dulu, dan kau lihat sendiri.”

Tak lama, suara decitan pintu terbuka terdengar. Maria tersenyum mendapati wajah kebingungan sang putri. Tanpa bicara, wanita paruh baya itu membawa Sirra keluar, lebih tepatnya ke teras. Di sana, Maria melihat suaminya sedang bicara dengan Reyyan. Sirra hanya menatap aneh, dia seperti mengenal punggung lelaki yang ada di hadapannya.

“Reyyan,” panggil Maria setelahnya. Sirra menutup mulut saking terkejutnya. Bahkan, mata perempuan dua puluh lima tahun itu terlihat berkaca-kaca. Dia ingin menangis saat ini juga rasanya.

“Duduklah di sini, Nak. Kami tinggal ke dalam dulu,” ucap Mario sambil tersenyum tipis. Dia berdiri dari duduknya, lalu menghampiri sang istri. Mario menggamit tangan Maria untuk berjalan ke dalam. Biarkan dua anak muda itu bicara. Mereka tak perlu mengganggu bahkan menunggui. Sirra dan Reyyan sudah dewasa, bukan?

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang