“Yeah, akhirnya Aphologys mati!”
Teriakan penuh kegembiraan dari tujuh kurcaci bersaudara itu terdengar. Reyyan menggunakan kembali kalung yang sempat dilepaskan tadi. Lelaki itu tersenyum tipis. Sebentar lagi, dia akan pergi ke Arciplants East untuk mencari Edelweissigra. Seminggu di hutan, dia tidak mendapati hujan sama sekali. Reyyan yakin, warga Arciplants West mulai kehabisan air.
“Maaf, bukan mengganggu kegembiraan kalian. Tapi, bolehkah aku mendapat ramuan itu?”
Kurcaci A yang pertama kali sadar atas interupsi Reyyan. Dia berkata kepada saudara-saudaranya untuk berhenti. Lantas dia menghampiri Reyyan, mengajak lelaki itu kembali ke pondok. Dia dan enam saudara lainnya akan mulai membuatkan ramuan yang diminta.
Reyyan mengangguk, lelaki itu mengikuti langkah tujuh kurcaci bersaudara yang berjalan terlebih dahulu. Formasi mereka masih sama seperti sebelumnya, itu sudah menjadi kebiasaan tersendiri.
“Ibu, terima kasih banyak.” Reyyan menggenggam erat bandul kalung permata putih miliknya. Lelaki itu tidak bisa membayangkan jika sang ibu tak membantunya sama sekali. Misi ini akan sangat sulit untuknya.
Sesampainya di pondok, ketujuh kurcaci bersaudara langsung sibuk dengan tanaman untuk membuat ramuan. Mereka saling berbagi tugas. Beberapa ada yang menumbuk, menggiling, bahkan membacakan mantra.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya Reyyan mendapat ramuan itu. Kurcaci F menyerahkan sebotol kecil berisi ramuan yang terbuat dari kaca.
“Ini ramuan yang kau minta, Leyyan. Lamuan ini hanya beltahan 12 jam setelah kau usapkan ke tubuh. Kau paham?” Reyyan menatap manik mata berwarna abu-abu di depannya itu, kalau tidak salah mengingat, dia kurcaci F. Ternyata dia cadel, tidak bisa mengucap huruf R.
Reyyan menggelengkan kepala, untuk apa dia memikirkan hal itu. Tidak penting.
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya,” ucap Reyyan sembari membungkukkan badannya. Ketujuh kurcaci mengangguk, tinggi mereka yang hanya sebatas pinggang Reyyan, menyusahkan mereka untuk melakukan hal yang serupa. Akhirnya mereka hanya bisa melambaikan tangan.
“Hati-hati, Reyyan. Themoga berhathil,” kata kurcaci yang mempunyai manik mata berwarna cokelat, dia E. Dia juga cadel, sama seperti kurcaci F. Hanya saja, dia tidak bisa mengucap huruf S.
Reyyan mengangguk, lelaki itu segera berjalan cepat meninggalkan pondok. Dia berjalan berlawanan arah dengan matahari yang akan tenggelam, yaitu berjalan lurus ke timur. Jika hari sudah malam, mau tak mau Reyyan harus menghentikan perjalanan. Karena risiko lebih besar dan dia tak memiliki petunjuk arah. Jadi Reyyan memilih untuk beristirahat. Dia menyimpan botol ramuan tersebut di tali celananya, telat di bagian pinggang. Lelaki itu mengaitkan botol tersebut dengan sebuah tali.
***
Keadaan Sirra sudah semakin membaik, setelah percakapannya kemarin dengan sang ibu, pikiran perempuan itu menjadi terbuka. Cinta tak harus membuatnya kehilangan kehidupan, kan? Tidak, masih banyak hal lain yang bisa dia lakukan. Mungkin saja, hal itu bisa membuat Reyyan kembali dan mencintainya.
Ya, melupakan perasaan kepada seseorang memang tak mudah. Butuh waktu. Dan Sirra berharap waktu itu pula yang bisa mengubah hati Reyyan.
Kini, perempuan itu tengah menumbuk beberapa tanaman untuk membuat ramuan. Ren di hadapannya hanya melihat sambil menopang dagu. Bocah laki-laki berumur 6 tahun itu layaknya lelaki dewasa yang memperhatikan pasangannya. Manis sekali.
“Kenapa kau melamun, Ren?”
“Tidak, Sirra. Aku hanya memperhatikanmu saja.”
Sirra tertawa pelan, perempuan itu kembali menunduk, fokus dengan apa yang sedang dilakukan. Ren memang bocah unik, berbeda dengan bocah lainnya.
“Terserah kau saja. Daripada memperhatikanku, lebih baik kau bermain lego di depan. Tunggu aku selesai, nanti aku akan bergabung,” ucap Sirra memberi penawaran. Ren hanya menggeleng. Ekspresinya lucu sekali.
“Nanti kalau besar, kita menikah ya, Sirra?”
Pertanyaan spontan yang diucapkan Ren membuat Sirra tertegun, perempuan itu menghentikan kegiatannya. Segera dia mengambil lap untuk membersihkan tangan, dan duduk berlutut di hadapan Ren. Memegang pundak bocah laki-laki itu dengan kedua tangannya.
“Ulangi sekali lagi, Ren. Apa yang kau katakan tadi?”
“Kalau aku sudah besar nanti, kita menikah ya, Sirra?”
Sirra terdiam sebentar, setelahnya dia tertawa sedikit keras. Membuat Ren mengernyitkan dahi.
“Kau kenapa Sirra?”
Sirra mencoba menghentikan tawanya. “Tidak, aku tidak apa-apa. Sebelumnya, apa kau tahu arti menikah itu, Ren? Kau masih bocah.”
Ren berdiri, mengentak-entakkan kakinya kesal. Tangannya bersendekap.
“Seperti Ayah dan Ibu. Juga seperti Paman Mario dan Bibi Maria, Sirra. Masa kau tidak tahu?”
Sirra menggeleng pelan sambil tersenyum. Dia mengusap rambut Ren yang sudah sedikit panjang, menutupi dahinya. “Bukan begitu, Ren. Hanya saja, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu. Saat ini kau hanya perlu bermain, makan, dan belajar. Kita bahas menikah saat kau memang sudah dewasa nanti. Oke?”
Ren mengangguk dengan pelan, seperti tidak ikhlas. Akhirnya bocah itu pergi menuju halaman. Bermain lego seperti yang Sirra katakan. Sedangkan perempuan berwajah lonjong itu berdiri, kembali menyelesaikan hal yang dia lakukan tadi. Pikiran seorang bocah memang tidak bisa tertebak. Seperti tadi. Ada-ada saja.
Tidak ada yang tahu soal takdir atau kejadian masa depan, Sirra. Kau harus paham dengan hal itu.
***
Reyyan beristirahat di bawah pohon yang cukup besar dan rindang. Lelaki itu membersihkan sekitar, memastikan tidak ada hal yang membahayakan. Lantas, kedua matanya memejam. Dia sudah terlelap ke alam mimpi.
Reyyan kembali terbangun di tempat yang sebelumnya, di mana tempo hari sang ibu menemuinya. Reyyan melihat Karlotte sedang melukis sesuatu. Dua sejoli yang tengah tersenyum sambil bergandengan tangan. Tunggu, Reyyan seperti tak asing dengan wajah lelaki yang digambar oleh Karlotte.
“Ibu, itu bukankah ... aku?”
Karlotte tersenyum, lantas menggeleng. Membuat Reyyan menautkan kedua alisnya. Jika bukan dirinya, siapa lagi? Apakah dia memiliki kembaran? Tidak mungkin.
“Kalau bukan aku, dia siapa, Bu? Lantas, gadis di sebelahnya itu juga siapa?” tanya Reyyan beruntun karena penasaran.
“Kau akan tahu semuanya nanti, Reyyan. Setelah kau sampai di Arciplants East. Kau harus waspada di sana, Nak.”
Jawaban sang ibu membuat Reyyan semakin bingung. Belum sempat pemuda itu bertanya, sebuah angin kencang menariknya menjauh dari Karlotte. Reyyan tersentak kaget dan bangun dari tidurnya.
“Huh, lagi-lagi hanya mimpi.”
Dia mengusap keringat sebesar biji jagung yang keluar dari dahinya. Lelaki itu tidak bisa tidur lagi. Akhirnya dia memutuskan untuk membaca buku yang dia dapatkan dari sang ibu. Lelaki itu akan mempelajarinya lebih dalam lagi. Sambil menunggu matahari kembali muncul menjalankan tugasnya.
Sesungguhnya, Reyyan masih tidak fokus. Mimpi tadi terus berputar di ingatannya. Wajah lelaki yang sangat mirip dengannya. Ah, tidak. Bola mata mereka sedikit berbeda. Dan gadis itu, siapa dia?
“Bu, kenapa kau membuatku penasaran seperti ini? Juga, kenapa kau menemuiku di mimpi hanya akhir-akhir ini? Mengapa dulu tak pernah, Bu? Kenapa? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadamu. Sayangnya, alam kita sudah berbeda.”
Reyyan melirih di akhir kalimatnya. Mata lelaki itu memerah, sedikit berkaca-kaca. Entahlah, jalan hidupnya tidak bisa tertebak.
***
Halo, Gaesss. Aku balik nih🙈
Maaf ya, kemarin nggak update, karena ada sesuatu. Tapi tenang aja, Jumat depan Insyaallah aku bakal dobel update bab, kok. Hehe.Gimana ceritanya sejauh ini? Kalian belum mual, kan?🙈
Oke, aku tunggu krisarnya, ya. Makasih.See you next week, Dear~
KAMU SEDANG MEMBACA
Arciplants
FantasyWARNING: 18+ Arciplants West dikenal sebagai kota penganut seks bebas, perjudian dan pemerasan di mana-mana. Semua terjadi karena rakyat mengikuti pemimpin mereka, Arsenio. Hingga Reyyan, putra tunggal sang pemimpin kota, harus diusir karena menenta...