Sirra memikirkan pembicaraan warga yang dia dengar kemarin. Dia belum sempat menanyakannya pada Maria ataupun Mario. Kedua orang tuanya itu masih sibuk dengan pengobatan di balai kota. Beberapa warga yang terkena wabah masih belum bisa disembuhkan, mereka masih saja terbaring tak berdaya. Berbagai ramuan yang diracik tidak dapat menyembuhkan, hanya menambah daya tahan tubuh mereka saja. Untuk Ren, bocah lelaki itu sudah sembuh. Tetapi, dia semakin pendiam dari hari ke hari. Setelah paham apa yang dikatakan Sirra kemarin soal ibunya, bocah itu terpukul. Seperti tak ada gairah untuk hidup.
“Apa aku bertanya ke Tuan Arsenio saja? Kurasa, dia tahu banyak hal. Tapi ... apakah dia mau menjawab?” monolog Sirra. Perempuan itu menggosok dagunya yang sedikit lancip, kemudian mengangguk beberapa kali.
“Ah, andai Reyyan masih di sini. Pasti dia bisa kumintai tolong untuk menanyakan hal ini. Tidak, kami pasti akan mencari tahunya bersama.”
Sirra tersenyum miris, saat ini dia sudah terlihat seperti orang tidak waras. Berbicara sendiri dan mengkhayal hal yang tak mungkin terjadi. Iya, tidak akan mungkin terjadi. Hubungannya dengan Reyyan sudah kandas. Tak ada harapan untuk bersatu kembali. Ternyata selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Bodoh sekali, kan?
“Ibu, aku rindu. Ibu, tolong bawa aku bersamamu. Ibuuu!”
Teriakan yang baru saja terdengar membuat Sirra terlonjak kaget. Perempuan berwajah lonjong itu segera bangun dari duduknya, menolehkan kepala ke dalam rumah. Dia melihat Ren sedang mengacak beberapa benda, melemparnya sembarang. Bocah itu kumat.
“Ren, tenanglah. Aku di sini,” ucap Sirra sembari memeluk tubuh mungil Ren. Bocah lelaki itu masih saja meraung, bahkan mencoba mendorong tubuh Sirra untuk menjauh.
“Sirra, Ibu pergi, Sirra. Ibu meninggalkanku sendiri, hiks.”
Sirra tak menjawab, perempuan itu memilih memeluk Ren lebih erat lagi. Dia ingin bocah itu bisa tenang. Tangan kurusnya mengelus rambut Ren yang sudah agak panjang, mungkin di bawah telinga. Sebelumnya, bocah lelaki itu tak akan membiarkan rambutnya sepanjang itu. Dia akan meminta dipotong jika sudah panjang sedikit, tetapi kali ini berbeda.
“Aku mau ikut bersama Ibu, Sirra,” ucap Ren lemah. Tak lama kemudian, gerakannya sudah tak ada lagi. Mata kecil itu terpejam, dengan pipi yang basah oleh air mata.
Hati Sirra terasa teriris, menatap keadaan Ren yang cukup dibilang kacau. Di umurnya yang sekecil ini, dia harus kehilangan sang ibu. Dia juga tak memiliki seorang ayah. Sejak lahir, dia hanya hidup berdua dengan ibunya saja. Satu sisi, Sirra merasa bersyukur sekali. Dia masih mempunyai orang tua lengkap sampai sekarang. Tapi, Sirra juga tak bisa membayangkan, jika nanti dia akan bernasib sama seperti Ren. Tidak. Perempuan itu tak ingin membayangkan hal tersebut. Dia berharap Mario dan Maria akan selalu bersamanya sampai tua nanti.
“Kau bocah yang kuat, Ren. Aku yakin itu. Kelak, kau akan tegar seperti Reyyan. Ya, kau pun bernasib sama dengannya. Dia ditinggal oleh Bibi Karlotte pada umur 7 tahun. Bedanya Reyyan memiliki ayah, meski bisa dibilang si pemimpin itu tak pernah memperhatikan putranya. Dia asyik sendiri dengan jalang-jalangnya.”
Dada Sirra naik turun setelah mengucapkan hal tersebut. Emosi perempuan itu menyulut begitu saja. Membahas soal perilaku Arsenio memang tak akan berujung baik. Pemimpin yang hanya memikirkan selangkangan dan nafsu binatangnya saja.
“Baiklah, Ren. Kau harus istirahat. Tenanglah, aku akan selalu bersamamu. Sampai kapan pun.”
Lantas Sirra membopong tubuh mungil Ren ke kamar. Dia akan menemani bocah lelaki itu tidur sampai orang tuanya pulang. Sirra juga meyakinkan diri. Dia akan bertanya soal kebenaran berita yang dia dengar. Beberapa warga tempo lalu pasti tak akan bicara jika memang hal itu tak pernah ada atau tak nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arciplants
FantasyWARNING: 18+ Arciplants West dikenal sebagai kota penganut seks bebas, perjudian dan pemerasan di mana-mana. Semua terjadi karena rakyat mengikuti pemimpin mereka, Arsenio. Hingga Reyyan, putra tunggal sang pemimpin kota, harus diusir karena menenta...