Setelah kejadian semalam, Ramissa terlihat lebih diam. Gadis itu tak lagi menanyai Reyyan, atau sekadar mengajaknya bicara. Soal kalung permata putih miliknya itu, Reyyan belum menjelaskan apa-apa. Mungkin itu juga yang membuat Ramissa seperti sekarang ini.
Namun, Reyyan tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Kotanya, sudah mulai kekeringan. Pasti sudah ada beberapa warga yang mati, jatuh sebagai korban wabah tersebut. Dikarenakan kurang cairan dan mungkin obat yang diberikan oleh tabib tak bisa membantu banyak. Edelweissigra, Reyyan harus menemukan tumbuhan itu secepatnya.
“Ramissa,” panggil Reyyan pelan. Lelaki itu menatap mata Ramissa dalam, tak dapat diartikan.
“Iya?”
Reyyan duduk di sebelah Ramissa yang menopang dagu, menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan.
“Kau marah?” tanya Reyyan hati-hati. Dia takut gadis di depannya ini tersinggung, dan akan berujung lebih tidak baik lagi. Menambah masalahnya saja.
“Untuk apa aku marah?” tanya Ramissa balik. Saat ini dia menatap kekasihnya itu dengan dalam, tanpa berkedip sekalipun.
Reyyan yang ganti ditatap sedemikian rupa, merasa kikuk. Akhirnya dia mengerjapkan mata beberapa kali. Lantas tersenyum tipis, menutupi kegugupannya. Entah kenapa, dia tiba-tiba menjadi salah tingkah seperti ini. Dia yang memulai, tapi tak bisa mengakhiri. Lelucon, kah?
“Soal semalam, aku tak menjawab pertanyaanmu.”
Akhirnya, jawaban tersebut lolos dari bibir Reyyan. Lelaki itu menarik napas agak dalam beberapa kali, lalu membuangnya sedikit keras. Dia menanti jawaban Ramissa. Dia berpikir, akan menjelaskan sebisanya soal kalungnya tersebut.
“Tidak, untuk apa aku marah? Itu hakmu, mau menjawab atau tidak. Aku ... hanya sedikit kecewa. Dan kesal pada diriku sendiri,” jawab Ramissa dengan lugas.
Reyyan terdiam, tak tahu mau berbicara apalagi. Sampai akhirnya dia teringat satu hal, “Kau jadi mengajakku ke suatu tempat? Yang kau bilang semalam.”
Ramissa yang awalnya memalingkan wajah, akhirnya kembali menoleh ke arah Reyyan. Butuh beberapa waktu untuk diam, memikirkan jawaban.
“Jadi. Ayo ikuti aku,” ucap Ramissa bangkit dari duduknya. Di teras, gadis itu berpapasan dengan sang ayah yang baru saja kembali, di tangannya terdapat buku sihir turun temurun milik keluarganya. Sepertinya dia baru saja berlatih.
“Mau ke mana?”
“Ke hutan, Yah.”
“Baiklah, pulang sebelum petang.”
Ramissa mengangguk, tanpa sadar dia menggenggam tangan Reyyan dan menariknya berjalan. Lelaki itu sedikit kaget, bahkan lagi-lagi jantungnya berulah. Berdegup kencang tanpa bisa dicegah.
Mereka berdua terus berjalan sembari bergandeng tangan. Beberapa orang memperhatikan mereka, tetapi Ramissa tak acuh, begitupun Reyyan. Cukup lama mereka menempuh perjalanan untuk sampai ke hutan, sekarang mereka sudah sampai. Di sebuah pohon besar, yang terdapat sebuah ayunan.
Ramissa duduk di atas ayunan tersebut. Perlahan, kakinya bergerak untuk membuat ayunan tersebut maju mundur. Reyyan masih memperhatikan. Dia juga berpikir, di hutan seperti ini ada ayunan? Sungguh aneh, dia belum menemukan hal tersebut sebelumnya.
“Mungkin kau lupa, baiklah akan kujelaskan. Ayunan ini, kau yang membuatnya untukku dua tahun lalu. Di sini juga, tempat kita berpisah. Kau bilang ingin pergi ke hutan perbatasan untuk mencari pasangan kalung.”
Ramissa memberi jeda, dia menatap Reyyan yang mulai berjalan mendekat, lalu berada di belakangnya. Lelaki itu membantu mengayunkan tubuh Ramissa. Sembari menunggu lanjutan cerita Ramissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arciplants
FantasyWARNING: 18+ Arciplants West dikenal sebagai kota penganut seks bebas, perjudian dan pemerasan di mana-mana. Semua terjadi karena rakyat mengikuti pemimpin mereka, Arsenio. Hingga Reyyan, putra tunggal sang pemimpin kota, harus diusir karena menenta...