Seorang pemuda berambut cokelat gelap sedang bersembunyi di balik semak-semak. Dia melihat ke kanan kiri, memastikan keadaan aman. Dia tak ingin gegabah, dan berakhir tidak baik untuk rencananya. Sudah cukup dua puluh tahun dia diam, tidak lagi. Dia akan mencari keadilan untuk sang ibu.
Setelah memastikan keadaan di sekitar aman, dia memejamkan mata dan membaca sebuah mantra. Lantas dari telapak tangannya muncul sebuah cahaya berwarna ungu dan berpendar ke seluruh tubuhnya. Pemuda berambut cokelat gelap itu tersenyum puas melihat tampilannya. Sihirnya berhasil.
Dengan langkah mantap dia memasuki sebuah gapura masuk ke dalam kota. Dia berjalan menunduk sembari memegang sebuah tas lusuh berwarna putih. Pemuda itu tak berpapasan dengan siapa pun selama di perjalanan, sampai di tengah kota, dia berdecih. Di sekitarnya banyak sekali orang yang sedang berciuman. Binatang. Tak punya malu. Beberapa bahkan sudah setengah telanjang, melucuti pakaian mereka masing-masing untuk mendapat kepuasaan. Beberapa lagi, sedang minum arak dan berjudi. Kota yang sangat menjijikkan. Batinnya.
Dia mencoba tak peduli dengan sekitar, tujuannya ke sini bukan untuk menonton adegan seperti ini. Dia harus menemui pimpinan kota secepatnya. Pemuda itu berjalan cepat, tak mengindahkan suara-suara aneh sekitar. Dia mencoba menulikan telinga. Sampai dia menabrak seseorang, dan keduanya hampir terjatuh.
“Kau tak apa-apa?” Sebuah suara lelaki membuat pemuda itu mendongak dan cukup terkejut. Wajah lelaki itu mirip dengannya. Hanya beda warna rambut saja. Cepat-cepat pemuda itu menunduk. Menghindari tatapan lelaki di hadapannya.
“Reyyan, kau tak apa-apa?” Suara seorang perempuan begitu lembut pun terdengar. Tetapi pemuda itu tak lagi mendongak, memilih diam dan mendengarkan dengan saksama.
“Aku tidak apa-apa, Sirra. Kau tak perlu khawatir. Aku malah mengkhawatirkan Tuan ini,” ucap Reyyan sembari memandang pemuda di hadapannya.
“Aku tidak apa-apa. Permisi.”
Pemuda berambut cokelat gelap itu segera pergi. Bergeming di tempatnya tadi hanya membuang waktu. Segera dia melanjutkan perjalanannya, menggenggam tas putih lusuh miliknya. Sampai akhirnya, pemuda itu berhenti di sebuah balai kota. Di sana, dia melihat orang yang dia cari sedang diapit oleh dua wanita seksi. Biadap.
“Tuan Arsenio,” panggilnya sembari mendekat.
“Siapa kau?” tanya Arsenio sembari berdiri dari duduknya. Pria paruh baya itu menyuruh dua wanita yang mengapitnya tadi pergi. Sepertinya ada yang tidak beres setelah ini.
Kedua wanita itu mengangguk dengan kesal, menatap pemuda yang menunduk sembari menggunakan tudung kepala lusuh itu. Mengganggu kesenangan saja. Batin mereka berdua.
Arsenio maju menghampiri, ingin melihat wajah pemuda itu. Tinggal selangkah lagi, jarak mereka terkikis. Arsenio memandang pemuda itu dengan intens, sambil bersendekap tangan. Menunggu pemuda di hadapannya itu mendongak.
Tak berselang lama, akhirnya pemuda itu membuka tudung kepalanya. Menatap Arsenio dengan datar. Menikmati raut terkejut dari pria berumur setengah abad di hadapannya. Senyum tipis menghias wajah tampannya. Memesona sekaligus menyeramkan. Di waktu yang bersamaan.
“Reyy—”
“Aku bukan Reyyan!” ucap pemuda berambut cokelat gelap itu dengan dingin. Tatapannya masih tak berubah dan setiap katanya mengandung penekanan.
“Lantas ... siapa kau?”
“Tidak perlu tahu siapa aku, Tuan Arsenio. Aku kemari hanya ingin membalas dendam atas kematian Ibuku, Diana Loswell.”
Jantung Arsenio terasa terhenti sejenak setelah mendengar nama tersebut. Nama yang sudah hilang dua puluh satu tahun yang lalu. Nama yang sesekali mengusik pikiran pria paruh baya itu. Dan kini, dia dihadapkan dengan putra wanita itu. Tunggu, Diana memiliki anak? Bisa jadi pemuda di hadapannya ini ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Arciplants
FantasyWARNING: 18+ Arciplants West dikenal sebagai kota penganut seks bebas, perjudian dan pemerasan di mana-mana. Semua terjadi karena rakyat mengikuti pemimpin mereka, Arsenio. Hingga Reyyan, putra tunggal sang pemimpin kota, harus diusir karena menenta...