Sirra merenung sembari menopang dagu menggunakan tangan kanannya. Matanya lurus memandang ke depan, Kota Arciplants West saaat ini memang di ambang kehancuran. Tidak ada lagi warga berlalu lalang, kegiatan seks bebas seperti dulu pun hilang. Ada baiknya memang, tapi bukan seperti ini yang diharapkan oleh Sirra. Mereka benar sudah tidak melakukan hal bejat itu lagi, tetapi bukan karena kesadaran masing-masing dan niat untuk berubah, tetapi karena keadaan yang memaksa. Itu tidak murni. Mereka bisa saja kembali seperti semula, jika keadaan sudah membaik, kan? Lupakan, Sirra. Saat ini kau hanya perlu berpikir untuk nasib kotamu selanjutnya. Reyyan, lelaki itu juga tak kembali setelah hampir 2 minggu meninggalkan kota. Apakah dia berhasil? Atau justru malah gagal melaksanakan misinya?
“Sirra!”
Panggilan itu membuyarkan renungan Sirra, perempuan berwajah lonjong itu menoleh ke sumber suara. Di sana, Ren sedang berdiri dengan wajah memelas. Ada apa dengan bocah lelaki itu?
“Ada apa, Ren? Kau butuh sesuatu?”
Ren menggeleng, setelahnya bocah itu menangis. Dia memeluk Sirra dengan erat. Ada apa sebenarnya?
“Hei, kau kenapa, hm? Kenapa tiba-tiba menangis? Ayo ceritakan,” ucap Sirra sembari membalas pelukan Ren. Perempuan itu menepuk punggung bocah itu perlahan.
Ren belum juga mau berbicara, isak tangisnya terus saja terdengar. Sampai beberapa saat kemudian, hanya sesegukan saja yang Sirra dengar.
“Se-semalam, aku bermimpi ... I-Ibu mati, Sirra. Aku tidak mau itu terjadi. Hiks, Ibu belum mati, kan? Dia masih hidup. Iya, kan, Sirra?”
Mendengar penjelasan Ren, Sirra tertegun di tempatnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya ikut mengalir keluar. Perempuan itu tak sanggup menjelaskan semuanya kepada Ren.
Semalam, ibu dan ayah Sirra memang mengatakan sesuatu. Mereka baru saja pulang dari balai kota untuk memeriksa keadaan beberapa warga yang sekarat. Mereka bilang, salah satu warga ada yang mati. Dia tidak bisa diselamatkan karena imun tubuhnya semakin menurun. Dan orang itu adalah ibu Ren. Sungguh, Sirra tak kuat mengatakan semuanya.
“Sirra, kenapa kau ikut menangis? Ibuku masih hidup bukan?” tanya Ren dengan menggebu-gebu.
“Ren, tenanglah. Ibumu sudah tenang di atas sana, ya. Kau tak usah khawatir, kau masih memiliki aku, Ayah Mario dan Ibu Maria. Oke?”
Ren menatap Sirra kebingungan. Apa maksud perempuan tersebut?
“Maksudmu, Sirra? Aku tidak paham.”
Sirra menggeleng, dia menggendong Ren masuk ke rumah. “Kau akan paham suatu saat nanti, Ren. Sudah, kau istirahat dulu, ya. Aku akan menemanimu.”
Ren mengangguk, bocah lelaki itu menguap beberapa kali. Mungkin dia mengantuk dan kelelahan setelah menangis. Suara dengkuran terdengar, Ren sudah terlelap.
***
“Rudra, aku sangat merindukanmu.”
Kalimat itu terus saja diucap oleh Ramissa berkali-kali. Gadis itu menangis sesegukan di pelukan Reyyan. Sedangkan lelaki itu hanya diam dengan tubuh kaku, dia tak tahu harus melakukan apa. Keadaannya semakin rumit saja.
“Sudahlah, Ramissa. Rudra sudah ada di sini sekarang, kau jangan menangis lagi, ya.” Evelyn mengelus pelan rambut panjang Ramissa yang berwarna cokelat gelap, mencoba membuat putri semata wayangnya berhenti menangis.
“I-iya, Ramissa. Kau tenanglah, aku sudah ada di sini,” ucap Reyyan akhirnya. Akhirnya, lelaki itu memberanikan diri untuk membalas pelukan Ramissa. Dia mencoba menenangkan gadis itu dan dirinya sendiri.
“Kau tak akan pergi meninggalkanku kembali, kan? Kau akan tetap di sini bersamaku selamanya?” tanya Ramissa beruntun setelah gadis itu tenang. Dia menatap mata Reyyan yang dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arciplants
FantasyWARNING: 18+ Arciplants West dikenal sebagai kota penganut seks bebas, perjudian dan pemerasan di mana-mana. Semua terjadi karena rakyat mengikuti pemimpin mereka, Arsenio. Hingga Reyyan, putra tunggal sang pemimpin kota, harus diusir karena menenta...