5

24 12 1
                                    

"Mas, kita mau kemana?" Zahfa bertanya dengan nada cemasnya, serta raut wajah yang tak dapat menyembunyikan rasa takut itu, membuat satu sudut bibir Alvio tertarik ke atas yang membentuk senyum miring.

"Mas!"

Alvio melirik istrinya sejenak. "Sssttt ... Jangan berisik." Matanya kembali fokus pada jalan aspal, tubuhnya gerah dengan suasana dalam mobil. Tak sedikit wanita yang mengitari pria tampan itu, namun kesan Zahfa berbeda dengan mereka-mereka. Seakan Zahfa memiliki kekuatan mistik yang merangkau tubuh Alvio. Ya, itu hanya pikiran Alvio yang tak biasa bersama dengan wanita seperti Zahfa. Jadi terkesan agak menegangkan.

Yah, meski hatinya khawatir, Zahfa sebisa mungkin membungkam mulutnya supaya tidak banyak tanya. Zahfa menilik spion di atas kepalanya, mobil yang ditumpangi Pak Burhan dan Bu Mayang tidak ada di belakang. Kemana mereka? Apa iya Alvio mau berjahat kepada istrinya sendiri? Selira indahnya menunjukkan jika hatinya sedang gusar, takut akan sikap Alvio yang bisa mungkin mengerjainya. Zahfa mana tahu kan, bagaimana sifat asli suaminya.

"Tenang aja, gue gak bakal bunuh lo," kata Alvio, tepat sekali jawabannya, seolah ia bisa membaca apa sedang Zahfa lamunkan.

Zahfa tak menjawab, kembali ia palingkan wajahnya keluar jendela, mengabsen setiap tanaman bonsai yang terdapat di pinggir jalan. Cahaya lampu jalan menerpa indah bunga-bunga layu itu, setiap kelopaknya berkesan lelah telah menahan panasnya terik matahari siang. Sama seperti suasana hati Zahfa sekarang yang merasa lelah dengan gelap gulitanya hidup tiada menderang. Kapan kebahagiaan itu kan datang? Mengapa begitu sulit untuk menyunggingkan senyum tanpa beban. Masihkah ada harapan? Setelah kian mendalam sakit yang dirasakan.

Kala ia sedang terpuruk, sepintas ingin meminta sebuah kematian, jika saja itu diperbolehkan. Sekali lagi, Zahfa membatin, meminta hatinya agar berkompromi dengan kenyataan. Yang sebenarnya manis, namun pahit dirasa. Indah, namun sakit dikenang. Ia tak menginginkan larut dalam kesedihan, walau sebenarnya berat untuk melepaskan.

Zahfa terjaga dari lamunan yang sejak tadi menyapanya, tatkala suara berat itu menyadarkan. Ia tercenung mendapati rumah minimalis di depannya, tidak sebesar rumah Alvio, tapi tak kalah mewahnya. Temboknya bercatkan putih susu yang beraksen hitam di setiap kusen-kusen pintu dan jendela, juga tiang beton penyanggahnya. Di sana ada hamparan kecil rerumpatan hijau, dengan pot bunga berjajaran, begitu indah menghias pemandangan. Seolah menyambut setiap mata yang memandangnya.

"Zahfa, ayo turun."

Zahfa melarikan pandangan ke asal suara tersebut, ia begitu terlena dengan pemandangan indah di depannya, hingga lupa apa yang harus dilakukan dan melamun. Lebih kagetnya lagi, ketika menyadari siapa yang memanggilnya tadi, itu Bu Mayang tengah berdiri di samping mobil menunggu dirinya. Zahfa bergegas turun, udara malam dingin dan cukup pori kulit, walau dilapisi kain sekali pun.

Zahfa ikut berdiri di samping Bu Mayang, sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. "Pak Amin, tolong bawakan koper nyonya muda ke dalam, ya," pinta Bu Mayang pada sopir pribadinya. Lalu kemudian berujar kepada Zahfa, "Zahfa, kamu lelah, Sayang?"

"Sedikit, Tante."

Bu Mayang menggeleng, "No, no, no. Sekarang Zahfa sudah menjadi anak mama juga, jadi panggil mama, ya, jangan tante."

"A-iya, maaf, Ma." Zahfa tersenyum simpul, Bu Mayang mengedikan bahu sebelum tersenyum.

Sementara Alvio melebarkan senyum, senyuman manis yang baru saja ia ciptakan setelah sekian lama hidup di dunia. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpesona. Bahkan, mata yang biasa berang, sekarang berbinar senang. Alangkah tampannya Alvio dengan senyum lembutnya saat ini yang menggambarkan suasana hati yang tenang.

Antara Aku dan Kamu| Hiatus/3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang