6

32 11 3
                                    

Zahfa berlari kecil di bawah derasnya hujan berkilat petir, mengejar seseorang berjalan santai yang ia yakini masa depan. Tangan Zahfa menjulur ke depan mencoba menggapai ujung kemeja putih basah yang pria itu kenakan. "Mas, tunggu!" seru Zahfa menahannya, air mata yang keluar bersatu dengan butiran air hujan. Langkah Zahfa kian makin dekat, tepat ketika langkah pria itu perlahan berhenti.

Sayup-sayup terlihat sunggingan senyum merekah di tengah badai hujan yang bergemuruh. Manis sekali, pemilik jiwa yang hampa menjadi tenang ketika melihatnya. Alangkah indahnya wajah tampan rupawan sang pangeran hati itu, betapa inginnya Zahfa berhambur dalam pelukannya, apalagi untuk kali ini pertemuan pertama setelah sekian lama berpisah.

Zahfa ingin melunturkan segala kerinduannya selama ini, bersenda gurau sembari menatap lekat netra coklat pria yang menjadi pujaan, jika saja kata tak terlanjur menyadarkan. "Zahfa, mengapa kamu masih di sini? Jangan berbalik arah, teruslah berjalan. Di sini hanya ada masa lalu. Dan saya adalah lukamu," katanya berlirih pelan, bersamaan dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar.

Duaarrr!!

Zahfa terlonjak dari mimpinya, keringat bercucuran membasahi wajahnya. Astahfirullah Haladzim... Bibirnya mencoba membaca kalimat agung apa pun yang ia ingat. Zahfa berusaha mengatur napas yang memburu tak karuan, sembari mengaut peluh di sekitar wajahnya. Samar-samar mendengar gemaan adzan yang menandakan fajar telah tiba. Zahfa beringsut menuruni tempat tidur, bergegas menyalakan pancuran air dan mengambil wudu' untuk segera menuju kemenangan kepada sang Agung.

Pipi mulusnya basah, basah oleh lelehan air mata, ketika membaca tahiyat akhir, yang kemudian mengucapkan salam pada malaikat di dua sisi kanan dan kiri. Tangannya menyatu terangkat hingga batas dada bersamaan dengan wajahnya yang menengadah. Ia ucapkan segala puji syukur pada yang Maha Kuasa, serta meminta ampunan untuk segala dosa. Tangisnya pecah, kala ia memperincih panjatan do'a, menyadari tubuhnya penuh dosa.

"Ya Allah, Tuhan penyeru alam, masih pantaskah aku bahagia, setelah zina hati yang ku lakukan? Padahal aku sudah sah menjadi istri orang. Masih pantaskah aku berpijak di syurga-Mu, setelah aku mendzalimi diriku sendiri dengan membagi cintaku pada-Mu pada hamba-Mu dengan berlebihan? Bahkan, dia tidak halal bagiku.

Aku tau azab-Mu pedih, aku pun juga tau rahmat-Mu luas. Maka dari itu, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Ingatkan aku, jika dia bukan milikku." Zahfa mengusap wajahnya dengan dua tangan seraya mengaminkan do'a yang ia panjatkan.

____

Zahfa tengah sibuk mengulek rempa-rempa ingin menjadikannya bumbu untuk menu masakan hari ini. Hari pertama ia memasak untuk sang suami, setelah tadi Zahfa menyempatkan diri browsing pada Bu Mayang guna menanyakan makanan kesukaan suaminya. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan dan Alvio menyukainya.

Wangi dari kepulan sup daging di atas api kecil mulai menggoda, Zahfa menyisihkannya ke mangkok berukuran sedang. Lalu menatanya di atas meja makan persegi panjang dengan sepuluh deretan kursi berseberangan.

Ada sup daging dengan nasi putih, telur mata sapi, kentang goreng yang lengkap dengan makanan pencuci mulut. Selesai. Jangan pikir itu Zahfa yang mengerjakan semuanya, di samping Zahfa ada Bi Inam yang membantunya bermain dengan peralatan dapur, kurang lebih selama dua jam. Zahfa hanya memasak makanan-makanan kesukaan Alvio saja, selebihnya Bi Inam lah yang mengerjakan.

Bi Inam adalah pembantu yang melayani keluarga Alvio selama 2 tahun terakhir ini, di rumah Alvio sebelumnya. Dan sekarang, setiap pagi ia diberi tugas untuk membersihkan rumah yang Alvio tempati.

"Biar saya saja Bi, yang bukain pintunya," ujar Zahfa ketika mendengar ketukan pintu dari depan, ia bergegas membukakan pintu untuk seseorang di luar sana. Memang siapa sih, yang bertamu di waktu sepagi ini? Bahkan jarum jam baru menunjukkan angka 8, pagi.

"Iya Mas, cari siapa ya?" Zahfa menyunggingkan senyum pada pria yang tengah memandangnya kagum. Rey, orangnya.

"Alvio ada?"

"Oh, temen Mas Al, ya? Silakan masuk, biar saya panggil Mas Al dulu." Zahfa memberi ruang agar Rey bisa masuk ke dalam. Kemudian, Zahfa menaiki tangga dengan sedikit mengangkat bagian jubahnya supaya tak menghalangi langkahnya. Zahfa mengetuk pintu kamar Alvio ragu-ragu, pasalnya ia tidak pernah membangunkan seorang pria dari tidurnya, kecuali ayahnya sendiri. Apalagi ketika pintu kamar itu terbuka dengan sendirinya, malu dan canggung mulai merasuki Zahfa. Bertatapan dengan muka bantal Alvio, yang menampilkan nada wajah bertanya. "Ada temen Mas yang nunggu di bawah," jelas Zahfa sebelum Alvio marah karena telah diganggu dari tidur nyenyaknya.

Kaus hitam polos dengan boxer senada yng melekat di tubuhnya, Alvio berjalan di depan Zahfa, menuruni tangga hingga di anak tangga terakhir yang berakhir heboh. "Wah, pengantin baru bangun kesiangan," sosor Rey dengan wajah jahilnya, Alvio mendengus tahu akan arah pembicaraan Rey barusan. Yang membuat Zahfa memalingkan wajah dari Rey, bersembunyi di bawah bayangan punggung Alvio.

"Ada apa, sih? Sekarang hari minggu, gue pengen rebahan di rumah," tandas Alvio, lalu ia menoleh ke belakang mencari bayangan istrinya guna meminta suguhan untuk sahabatnya. Setelahnya, Zahfa berlalu ke dapur.

Alvio duduk di sebelah Rey. "Gue pengen ngajak lo jalan-jalan, seperti biasa nanti kita ke club. Udah sono lo mandi!" decak Rey mendorong punggung Alvio.

"Gimana ya? Gak usah mandilah," desis Alvio.

"Lo mau mandi aja harus mikir dua kali, seakan mandi itu adalah dosa. Udah sono mandi cepetan!"

"Iya, iya, ah!" Alvio berlalu.

:::

Sia-sialah sudah, masakan Zahfa pagi tadi.
Bahkan Alvio tak menyentuhnya sama sekali, karena buru-buru pergi bersama sahabatnya. Hingga larut malam Zahfa menunggu pulangnya Alvio yang entah pergi kemana. Hitung-hitung sudah dua kali pula Zahfa mengangat sup daging yang ia masak sore tadi, setelah masakan pertamanya terbuang cuma-cuma.

Zahfa terlonjak dari sofa mendengar deruan mobil berhenti depan rumahnya. Itu pasti Alvio, terka Zahfa. Ia beranjak membuka pintu, namun daun pintu telah bergerak sebelum ia sentuh. Zahfa terkaget kala melihat Alvio pulang dalam keadaan mabuk. Bau alkohol menyeruak dari tubuh Alvio. Seluruh tubuh Zahfa gemetar, seumur hidup baru waktu itu Zahfa harus berurusan dengan orang mabuk. Sudah begitu di rumah barunya, mereka hanya tinggal berdua, tidak ada siapa-siapa yang bisa membantunya. Mau tidak mau, Zahfa harus mengurusnya seorang diri.

"Astafirullah, Mas!" pekik Zahfa meraih lengan Alvio guna membantunya, namun siapa sangka jika ia akan mendapat tepisan dari suaminya.

"Jangan pegang-pegang, gue masih bisa jalan sendiri." Alvio gontai mengarah sofa, suaranya parau. "Kenapa lo masih di situ? Mau ceramah?"

Zahfa menggeleng cepat, "Nggak, Mas. Saya... E-Zahfa... E-aku...," gugup Zahfa, lidahnya kalut seketika, "aku cuma mau nawarin makan. Ada sup daging sama kentang goreng."

Alvio menyeringai melihat tubuh istrinya bergetar, seolah takut akan sebuah ancaman. "Duduk sini," suruh Alvio melirik ruang kosong di sampingnya sejenak.

_________________________________________________

Bersambung....

K-1000

Antara Aku dan Kamu| Hiatus/3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang