Pria itu menyeret koper berukuran besar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, setelah penerbangan Singapura-Indonesia. Wajah tampannya tak hilang walau menahan lelah. Ia keluar beriringan dengan seorang wanita di sampingnya. Sinar matahari menerpa wajah berminyaknya, sebelah sudut bibir dan ujung sebelah matanya hampir menyatu menahan sengatan sang surya. Tangan kanannya ada di alis. Ia menyipitkan mata mencari sosok di parkiran.
Tiba-tiba seseorang datang menyapa, penuh hormat. Alvio tak sepenuhnya menghadap. Begitu acuh ia bersikap. Bahkan dirinya enggan melirik, walau sejenak. Walau sebatas menghargai. Memang sangat beda dengan wanita di sampingnya yang membalas ramah sapaannya, serta menanyakan kabarnya.
Langkah Alvio mendahului keduanya, ia sudah berdiri di samping mobil menunggu istri dan sopir. Ia berdecak kesal melihat dua orang di sana masih asyik mengobrol, walau setapak mereka sudah beranjak.
"Mas Alvio, kata nyonya, Mas disuruh pulang ke rumah nyonya." Pak Amin, sang sopir, membuka suara. Kemungkinan besar ia tidak tahu jika mood tuan mudanya itu sedang tidak baik. Lelah, mungkin.
"Gak! Langsung ke rumah," tolak Alvio.
"Pak Amin, langsung pulang ya... Entar saya sama Mas Al nyusul ke rumah mama." Zahfa menyunggingkan senyum mewakili suaminya.
Pak Amin mengangguk mengerti.:::
Zahfa menautkan tangan di atas pangku bersandar di bangku panjang besi di taman kecil, depan rumahnya. Otaknya sedang berpikir keras bagaimana ia bisa menyeret rupiah sebagai alat penukar kebutuhannya. Zahfa suka mengoleksi kitab fiqih dan lainnya, sebagai pedoman kehidupan. Untuk mencari dan menimbah ilmu yang belum ia ketahui. Guna mendekatkan diri pada Ilahi Rabbi.Enggan ia meminta uang pada Alvio untuk kebutuhan pribadinya. Meski penting bagi dirinya. Zahfa tahu jika ia meminta, ada kemungkinan besar Alvio memberikannya, namun jauh di lubuk hati Zahfa jika ada rasa takut Alvio mungkin akan mencacinya walau tak terlontar dengan nyata, mungkin di hatinya, perkiraan Zahfa.
Seuzon, sering Zahfa alami. Ia manusia biasa.
Rumah yang ia tempati cukup besar nan luas, mewah pula--meski tak semewah rumah Alvio sebelumnya--dengan peralatan yang serba ada. Kamar tidur tiga kali lipat lebih luas dari pada kamar Zahfa sebelumnya, jika dibandingkan dengan rumahnya sendiri yang terletak di perdesaan, yang di depannya hanya terdapat hamparan padi menguning, bukan taman yang dipenuhi bonsai cemara dan bunga kamboja lainnya.
Namun di rumah besar itu Zahfa tak dapat menemukan kebahagiaan rohaninya. Tidak ada buku yang bermanfaat untuk meningkatkan iman. Beruntung Zahfa kemarin membeli kitab suci Al-Qur'an ketika ia hendak berbelanja bahan ketubuhan dapur, jika tidak, mungkin Zahfa akan depresi karena tidak ada penghibur sama sekali.
"Nisa ... tidak!" elaknya sendiri. Mengingat kejadian tiga bulan lalu, dimana Zahfa dan sepupunya itu merangkai bisnis kecil-kecilan dengan melayani pesanan kue, dan suatu ketika Nisa ingin mempraktikkan membuat adonan kue bolu, namun ketika matang jadi kue putu. Jauh dari ekspetasi, akan sangat memalukan jika dilanjutkan.
Zahfa mengeluarkan benda pipih dari sakunya, menggulir aplikasi kontak guna mencari nama yang dapat ia hubungi untuk memulai bisnis kue yang digarapnya. Mendadak matanya memicing ketika mendapati sebuah nama dalam kontaknya. "Shela," gumamnya kemudian mengetik beberapa huruf untuk merangkai kalimat. Zahfa mengirimkan sebuah pesan untuk mengajak sepupunya itu berbisnis dengannya. Setahu Zahfa, Selina itu sangat pandai--promosi--dalam dunia bisnis, buktinya sekarang Selina telah sukses mengelolah bisnis butiknya.
"Oke. Aku mau berbisnis denganmu," tulisnya dari seberang membalas pesan singkat dari Zahfa. Zahfa mengulas senyum sebelum menyimpan Handphone-nya kembali.
Sebuah dehaman berat menyadarkannya. Zahfa menoleh melihat siapa yang ada di belakangnya, ada Alvio. Sejak kapan pria itu berdiri sana. Mengapa kedatangannya tidak diketahui? Tapi ... ada seseorang lagi yang berdiri tak jauh di belakangnya. Ternyata, itu Bu Mayang.
Bu Mayang beranjak maju mendekat Zahfa. "Sayang, menantu mama bagaimana kabarnya? Dan bagaimana bulan madunya?" tanyanya beruntun, ia mencium pipi kanan-kiri Zahfa.
Zahfa melarikan maniknya kepada suami di belakang mama mertuanya. Alvio mengisyaratkan agar ia mengatakan yang baik-baik saja. Zahfa mengerti apa yang harus ia katakan pada mama mertuanya. "Baik, Ma. Dan bulan madu kemarin sangat menyenangkan!"
"Benarkah?" Bu Mayang bergeser memandang putra-putrinya itu bergantian dengan mata berbinar. Zahfa mengulum senyum hangat, sementara Alvio menyunggingkan senyum kemenangan.
"Alvio sayang, Zahfa sayang," Bu Mayang memanggil sembari menggenggam tangan putra-putrinya.
"Iya, Ma," sahut mereka bersamaan.
"Hadiahkan mama seorang cucu, ya? Mama ingin segera menimang cucu," tuturnya menyatukan tangan mereka berdua.
Zahfa tersenyum getir, apalagi ketika pandangannya bertemu dengan Alvio. Sedangkan pria itu hanya tersenyum malas menanggapi mamanya, seraya memutar bola mata.
______________________________________________
K-7
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku dan Kamu| Hiatus/3
Romance@Ji_Cyna.03420 |Rendah konflik. "Nikahi dia, aku ikhlas!" Tidak peduli secantik apa pun dirimu, tidak akan mempan bila masa lalu berani menjangkiti otak dan hatimu. Seperti halnya Bunga Za'faran, gadis cantik dengan panggilan Zahfa. Ia belum bisa me...